Sabtu, 16 Januari 2021

Bibit Pohon



Cerita oleh Rohimul Hadi

 “Sayuda, Lihat apa yang aku temukan! Datanglah kemari, buruan!” ajak Rezvan anak paling ingin tahu akan segala hal itu. Ia mengambil sebuah buku usang bergambar pepohonan yang lebat. Buku tentang Hutan.

Sayuda hanya mengiyakan, berjalan menuju Rezvan dengan malas. Apalagi dengan memikul wadah hasil memungut plastik sampah di gunungan sampah tempat pembuangan sampah akhir.

Tidak ada yang mengenyam pendidikan formal. Orang tua anak-anak yang ada di sekitaran tempat pembuangan sampah itu tidak pernah menyekolahkannya. Mencari sesuap nasi untuk esok hari saja sudah susah payah, apalagi hanya untuk bersekolah. Tidak ada gunanya. Sama seperti orang tua mereka, tidak ada yang mengenyam dunia pendidikan. Sudah turun termurun dari generasi terdahulu. Generasi pemulung sampah. Tidak bisa baca tulis, tidak ada media untuk melihat berita-berita. Walaupun ada koran-koran berserakan, tetap saja tidak ada manfaatnya, tidak ada yang bisa membaca. Lebih penting mengais sampah untuk dijual ke pengepul. Satu perak, dua perak sudah cukup membuat mereka para orang tua senang.

Nasib sedikit demi sedikit berubah setelah kehadiran Matteo dan kawan-kawannya. Pemuda dari kota itu seminggu sekali mengajak anak-anak di daerah tempat pembuangan sampah itu bersekolah. Bersekolah dalam artian belajar sesungguuhnya. Belajar membaca, menghitung dan menulis. Para orang tua tidak sepenuhnya mendukung kegiatan Matteo dan kawan-kawan. Anak-anak akan banyak menyusahkan, karena waktunya untuk mengais plastik akan terkurangi, yang berarti pemasukan hari itu akan berkurang.

“Lihat, Pohon-pohon itu besar sekali. Banyak sekali, dan sungai yang ada di bawahnya juga sangat bening” Rezvan menunjukkan gambar yang ada di sampul buku yang sudah kotor itu.

Mereka berdua akhirnya duduk di tumpukan sampah. Membuka satu persatu halaman buku bergambar pepohonan itu. sekitar setengah jam mereka berdua akhirnya bertemu halaman terakhir. Sedikit-sedikit membaca, lebih banyak hanya melihat gambar-gambar pepohonan, sungai dan hewan-hewan yang ada di buku itu.

“Rezvan!!! Ayo sini !!! jangan malas kau yah, itu lihat truk nya sudah datang” Ibu Rezvan memanggil dari kejauhan.

Truk-truk pengangkut sampah datang dari arah utara. Menganggkut semua sampah-sampah dari seluruh kota besar itu. Ini rizeki bagi mereka, yang berarti akan ada banyak plastik baru yang dikumpulkan beruntung jika ada kertas-kertas yang kering. Menjualnya pada pengepul dan membelanjakan uangnya untuk makan hari itu.

Rezvan mengambil buku itu, tapi tidak menjualnya. Ia simpan buku itu dan akan dikasihkan ke Matteo besok sore. Besok adalah hari bersekolahnya anak-anak pemulung. Sayuda hanya menggeleng, mubazir bukunya tidak dijual. Lumayan berat buku itu. Dapat menambah timbangan kertas yang dikumpulkan. Harga jual kertas lebih besar dari pada sekedar botol plastik. Apalagi buku itu memiliki kualitas kertas yang baik. Pasti mahal harganya jika dijual.

Sisa-sisa hari itu habis untuk mengais sampah plastik dan beberapa kertas. Silih berganti dari satu truk ke truk yang lainnya hingga sore datang. Maklum saja sampah dari seluruh kota besar itu tumpah ruah jadi satu dalam tempat pembuangan sampah tempat dimana Rezvan dan Sayuda tinggal dan bermain. Tempat pembuangan sampah itu sangat luas dan ada banyak gunung yang terbuat dari sampah.

“Bagaimana hari kalian seminggu ini, teman-teman?” Tanya Matteo. Kali ini dia sendirian, tidak bersama rekan-rekannya yang biasa menemani.

“Matteo, lihat buku yang saya temukan ini. Sepertinya bagus. Aku sudah membacanya bersama Rezvan kemarin” Sayuda menyerahkan buku dengan sampul bergambar pohon itu. Rezvan hanya memalingkan mukanya, rugi tidak menjual buku itu.

“Benar, buku yang bagus” Matteo memperlihatkan gambar-gambar yang ada di buku itu ke seluruh anak-anak yang sekolah itu –tidak ada seragam maupun apalagi beralas sepatu.

Semua yang hadir terpukau pada gambar-gambar itu. Maklum saja, mereka tidak pernah mengetahui dunia luar. Di tempat pembuangan sampah itu hanya ada pepohonan yang tidak banyak. Itupun hanya ada di pinggiran pembuangan sampah itu. Tidak ada sungai yang bening apalagi air terjun. Tidak ada burung-burung yang berwarna indah, yang ada hanya ada sapi-sapi kurus pemakan sampah. Buku itu menggambarkan dunia lain. Bukan dunia pengais sampah.

“Teman-teman sekalian. Dahulu kala, beberapa puluh tahun yang lalu tempat ini sama seperti apa yang ada dibuku. LIhat sungai yang ada di pinggir gunung -gunung sampah itu. Kakekku pernah bercerita, sungai itu adalah sungai yang paling bersih dan banyak ikan-ikannya. Banyak yang memancing disana, membuat perangkap ikan dari anyaman bambu. Tempat yang mengasyikkan. Tapi itu dulu, sekarang sudah jadi kenangan” Matteo bercerita dengan sungguh-sungguh, sampai-sampai anak-anak seperti terhipnotis, tidak percaya akan cerita mateo.

“Kenapa sungai itu hilang, Matteo? Berbeda dengan yang Matteo ceritakan, tidak ada ikan. Airnya saja berwarna coklat” Tanya Rezvan.

“Semenjak daerah ini menjadi perkotaan. Perlahan pepohonan itu ditebang digantikan bangunan bertembok semen, gedung pencakar langit. Semakin hari semakin banyak orang datang, semakin banyak juga pohon yang hilang. Sampah-sampah mulai menumpuk. Banyak yang membuang di sungai, di pinggir jalan bahkan tertumpuk di bawah pepohonan” ucap Matteo sedih.

“Kenapa kita tidak menanam pohon saja, Matteo? supaya sungai di sebelah ­gunung itu ada ikannya lagi” Rezvan Bertanya. Pasti seru sekali jika sungai cokelat itu banyak ikannya. Bisa main ikan, lihat ikan berwarna-warni berkerumun.

“Ide yang sangat bagus. Minggu depan aku ajak teman-teman yang lain. Ada kejutan yang akan aku beri pada kalian” Matteo meyakinkan. Memberi secercah harapan bagi anak-anak pemulung. Matteo sangat senang melihat antusiasme anak-anak, terutama Rezvan.

****

Seminggu telah berlalu. Anak-anak pemulung sudah berkumpul di kelas tempat bersekolah itu. Kelas beratap langit tanpa dinding, pintu maupun jendela. Kelas full AC alami dengan wewangian sampah. Bagi yang baru main ke tempat pembuangan sampah itu, dipastikan tidak akan betah berlama-lama. Matteo sudah kebal hidungnya dengan wangi itu, apalagi anak-anak pemulung itu.

Seperti janjinya minggu lalu. Matteo datang bersama rekan-rekannya. Kali ini lebih banyak teman Matteo yang datang daripada hari-hari biasanya. Walaupun seringnya Matteo sendiri yang datang ke sekolah itu. Matteo membawa banyak bibit pohon. Beserta alat-alat untuk menanam. Teman-teman Matteo dan Rezvan membantu menurunkan bibit pohon itu dari mobil pick up.

Bergegas Matteo dan Rezvan menentukan tempat yang cocok untuk menanam bibit pohon itu. Rezvan menunjuk ke gunung yang ada di dekat sungai cokelat itu. Sudah tidak ada lalu lalang truk lagi di gunung itu. Gunung yang sudah terbengkalai. Tidak mampu untuk menumpuk sampah-sampah lagi. Tempat yang cocok untuk menanam. Tempatnya juga cocok karena dekat dengan sumber air.

Rezvan memimpin jalan menuju gunung, yang lainnya mengikuti di belakang. Para orang tua tidak mengiraukan kegiatan Rezvan dan Matteo. Mereka hanya melihat dari kejauhan. Lebih fokus pada mencari botol-botol plastik, atau kertas kardus jika beruntung.

Matteo mencangkul sampah menggunung itu. Namanya gunung sampah, tentunya hanya sampah saja isinya, sedikit tanah dan paling banyak plastik yang belum terurai. Dengan api semangat Matteo tetap melanjutkan menanamnya. Setelah lubang yang dicangkul dikira cukup. Matteo mengambil bibit pohon, melepaskannya dari plastik polybag. Kemudian menanamnya dan menyiramnya untuk kebutuhan tanamannya.

Setelah Matteo mencontohkan. Rezvan dan teman-temannya mengikuti menanam bibit yang telah diberikan oleh teman-teman Matteo seperti yang Matteo contohkan sebelumnya.  Kegiatan tanam menanam berakhir sore itu. Rezvan sudah berangan-angan bermain dengan ikan, dan tidur di bawah rindangnya pepohonan. Seperti yang ia bayangkan pada buku itu.

Rezvan, Sayuda dan teman-temannya setiap hari menyirami tanaman yang kemarin mereka tanam. Setiap hari, masing-masing dari mereka mengambil air dengan botol plastik sebelum berangkat mengais sampah plastik dan kertas-kertas yang kering. Tanaman itu dirawat dengan sepenuh hati sudah dianggap seperti teman sendiri.

Beberapa hari berlalu, satu persatu tanaman daunnya menguning. Lima hari kemudian daun-daunnya kering dan rontok. Pada akhirnya hanya sisa satu tanaman yang hidup. Rezvan dan Sayuda mengadu pada Matteo apa yang telah terjadi pada sekolah selanjutnya.

“Sepertinya perlu perlakuan yang istimewa pada tanaman itu. Mereka semua stress karena tidak dapat pasokan makanan dari sampah plastik. Mereka tidak bisa berkembang” jawab Matteo setelah mendengar cerita Rezvan.

Mereka semua pergi ke gunung itu untuk melihat kondisi tanaman itu. Setelah berpikir panjang, Matteo mendapatkan solusi untuk mengatasi hal itu. Tidak menunggu pertemuan sekolah minggu depan, keesokan harinya Matteo datang beserta teman-temannya membawa bibit pohon baru dan beberapa karung tanah.

Cara menanam kali ini sedikit berbeda dengan minggu yang lalu. Matteo kembali mencontohkan teknik menanam tanaman yang baru. Yang dilakukan pertama kali yaitu mencangkul hingga membuat kubangan. Kemudian kubangan yang telah dibuat ditimpa dengan tanah sebelum ditanami. Matteo bilang, tanaman butuh tanah untuk hidup. Tanaman tidak akan tumbuh jika hidup di atas sampah plastik. Tidak ada makanan bagi tanaman. Tanah yang tersebut bukan tanah biasa. Tanah itu sudah tercampur dengan kotoran hewan. Sontak Rezvan, Sayuda dan teman-temannya kaget dengan pernyataan Matteo. Setelah tanah itu sudah dikira cukup, bibit pohon dilepaskan dari plastik polybag dan dibenamkan pada tanah yang disediakan sebelumnya. Terakhir disiram dengan air.

****

Sambutan sangat meriah. Suara tepuk tangan memenuhi aula pertemuan yang mewah itu. Kilatan cahaya kamera menyilaukan mata. Aula itu terletak di salah satu gedung pencakar langit di dekat gunung itu. Seseorang lelaki dewasa itu siap memberikan satu patah dua patah kata-kata.

“Terimakasih Matteo, Sayuda dan teman-teman sekalian. Jika bukan karena kalian semua pasti aku tidak akan beridiri bangga disini. Perjuangan selama tiga puluh tahun lamanya, keringat dan panas sudah kita lalui bersama. Terimakasih juga pada bapak wali kota. Kini berkat dukungan dan bantuan bapak wali kota, gunung itu menjadi tempat yang saya cita-citakan. Banyak pepohonan dan sungai itu menjadi taman bermainnnya ikan. Gunung sampah itu kini menjadi tempat kembalinya lelah letihnya kepadatan kota. Tidak ada lagi sampah, tidak ada lagi bau menyengat. Kini gunung itu menjadi tempat hidupnya burung-burung yang berwarna warni. Terimakasih banyak atas dukungan kalian” Rezvan mengakhiri pidatonya setelah menerima penghargaan dari wali kota dalam upayanya merubah tempat pembuangan sampah akhir terbesar di kota itu menjadi taman kota yang sangat modern.

Berkat kerja kerasnya Rezvan, wali kota merealisasikan rencananya melalui Matteo. Yang terpenting adalah kebijakan wali kota pada orang-orang yang membuang sampah sembarangan dan diberlakukan kebijakan pengurangan penggunaan plastik dalam perindustrian.

Sekarang gunung itu telah benar-benar menjadi seperti yang kakeknya Matteo ceritakan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar