Cerita oleh Rohimul Hadi
Sayuda
hanya mengiyakan, berjalan menuju Rezvan dengan malas. Apalagi dengan memikul
wadah hasil memungut plastik sampah di gunungan sampah tempat pembuangan sampah
akhir.
Tidak
ada yang mengenyam pendidikan formal. Orang tua anak-anak yang ada di sekitaran
tempat pembuangan sampah itu tidak pernah menyekolahkannya. Mencari sesuap nasi
untuk esok hari saja sudah susah payah, apalagi hanya untuk bersekolah. Tidak
ada gunanya. Sama seperti orang tua mereka, tidak ada yang mengenyam dunia
pendidikan. Sudah turun termurun dari generasi terdahulu. Generasi pemulung
sampah. Tidak bisa baca tulis, tidak ada media untuk melihat berita-berita.
Walaupun ada koran-koran berserakan, tetap saja tidak ada manfaatnya, tidak ada
yang bisa membaca. Lebih penting mengais sampah untuk dijual ke pengepul. Satu
perak, dua perak sudah cukup membuat mereka para orang tua senang.
Nasib
sedikit demi sedikit berubah setelah kehadiran Matteo dan kawan-kawannya.
Pemuda dari kota itu seminggu sekali mengajak anak-anak di daerah tempat
pembuangan sampah itu bersekolah. Bersekolah dalam artian belajar
sesungguuhnya. Belajar membaca, menghitung dan menulis. Para orang tua tidak
sepenuhnya mendukung kegiatan Matteo dan kawan-kawan. Anak-anak akan banyak
menyusahkan, karena waktunya untuk mengais plastik akan terkurangi, yang
berarti pemasukan hari itu akan berkurang.
“Lihat,
Pohon-pohon itu besar sekali. Banyak sekali, dan sungai yang ada di bawahnya
juga sangat bening” Rezvan menunjukkan gambar yang ada di sampul buku yang
sudah kotor itu.
Mereka
berdua akhirnya duduk di tumpukan sampah. Membuka satu persatu halaman buku
bergambar pepohonan itu. sekitar setengah jam mereka berdua akhirnya bertemu
halaman terakhir. Sedikit-sedikit membaca, lebih banyak hanya melihat gambar-gambar
pepohonan, sungai dan hewan-hewan yang ada di buku itu.
“Rezvan!!!
Ayo sini !!! jangan malas kau yah, itu lihat truk nya sudah datang” Ibu Rezvan
memanggil dari kejauhan.
Truk-truk
pengangkut sampah datang dari arah utara. Menganggkut semua sampah-sampah dari
seluruh kota besar itu. Ini rizeki bagi mereka, yang berarti akan ada banyak
plastik baru yang dikumpulkan beruntung jika ada kertas-kertas yang kering.
Menjualnya pada pengepul dan membelanjakan uangnya untuk makan hari itu.
Rezvan
mengambil buku itu, tapi tidak menjualnya. Ia simpan buku itu dan akan
dikasihkan ke Matteo besok sore. Besok adalah hari bersekolahnya anak-anak
pemulung. Sayuda hanya menggeleng, mubazir bukunya tidak dijual. Lumayan berat
buku itu. Dapat menambah timbangan kertas yang dikumpulkan. Harga jual kertas
lebih besar dari pada sekedar botol plastik. Apalagi buku itu memiliki kualitas
kertas yang baik. Pasti mahal harganya jika dijual.
Sisa-sisa
hari itu habis untuk mengais sampah plastik dan beberapa kertas. Silih berganti
dari satu truk ke truk yang lainnya hingga sore datang. Maklum saja sampah dari
seluruh kota besar itu tumpah ruah jadi satu dalam tempat pembuangan sampah
tempat dimana Rezvan dan Sayuda tinggal dan bermain. Tempat pembuangan sampah
itu sangat luas dan ada banyak gunung yang terbuat dari sampah.
“Bagaimana
hari kalian seminggu ini, teman-teman?” Tanya Matteo. Kali ini dia sendirian,
tidak bersama rekan-rekannya yang biasa menemani.
“Matteo,
lihat buku yang saya temukan ini. Sepertinya bagus. Aku sudah membacanya
bersama Rezvan kemarin” Sayuda menyerahkan buku dengan sampul bergambar pohon
itu. Rezvan hanya memalingkan mukanya, rugi tidak menjual buku itu.
“Benar,
buku yang bagus” Matteo memperlihatkan gambar-gambar yang ada di buku itu ke
seluruh anak-anak yang sekolah itu –tidak ada seragam maupun apalagi beralas
sepatu.
Semua
yang hadir terpukau pada gambar-gambar itu. Maklum saja, mereka tidak pernah
mengetahui dunia luar. Di tempat pembuangan sampah itu hanya ada pepohonan yang
tidak banyak. Itupun hanya ada di pinggiran pembuangan sampah itu. Tidak ada
sungai yang bening apalagi air terjun. Tidak ada burung-burung yang berwarna
indah, yang ada hanya ada sapi-sapi kurus pemakan sampah. Buku itu
menggambarkan dunia lain. Bukan dunia pengais sampah.
“Teman-teman
sekalian. Dahulu kala, beberapa puluh tahun yang lalu tempat ini sama seperti
apa yang ada dibuku. LIhat sungai yang ada di pinggir gunung -gunung sampah
itu. Kakekku pernah bercerita, sungai itu adalah sungai yang paling bersih dan
banyak ikan-ikannya. Banyak yang memancing disana, membuat perangkap ikan dari
anyaman bambu. Tempat yang mengasyikkan. Tapi itu dulu, sekarang sudah jadi
kenangan” Matteo bercerita dengan sungguh-sungguh, sampai-sampai anak-anak
seperti terhipnotis, tidak percaya akan cerita mateo.
“Kenapa
sungai itu hilang, Matteo? Berbeda dengan yang Matteo ceritakan, tidak ada
ikan. Airnya saja berwarna coklat” Tanya Rezvan.
“Semenjak
daerah ini menjadi perkotaan. Perlahan pepohonan itu ditebang digantikan
bangunan bertembok semen, gedung pencakar langit. Semakin hari semakin banyak
orang datang, semakin banyak juga pohon yang hilang. Sampah-sampah mulai
menumpuk. Banyak yang membuang di sungai, di pinggir jalan bahkan tertumpuk di bawah
pepohonan” ucap Matteo sedih.
“Kenapa
kita tidak menanam pohon saja, Matteo? supaya sungai di sebelah gunung
itu ada ikannya lagi” Rezvan Bertanya. Pasti seru sekali jika sungai cokelat
itu banyak ikannya. Bisa main ikan, lihat ikan berwarna-warni berkerumun.
“Ide
yang sangat bagus. Minggu depan aku ajak teman-teman yang lain. Ada kejutan
yang akan aku beri pada kalian” Matteo meyakinkan. Memberi secercah harapan
bagi anak-anak pemulung. Matteo sangat senang melihat antusiasme anak-anak,
terutama Rezvan.
****
Seminggu
telah berlalu. Anak-anak pemulung sudah berkumpul di kelas tempat bersekolah
itu. Kelas beratap langit tanpa dinding, pintu maupun jendela. Kelas full AC
alami dengan wewangian sampah. Bagi yang baru main ke tempat pembuangan sampah
itu, dipastikan tidak akan betah berlama-lama. Matteo sudah kebal hidungnya
dengan wangi itu, apalagi anak-anak pemulung itu.
Seperti
janjinya minggu lalu. Matteo datang bersama rekan-rekannya. Kali ini lebih
banyak teman Matteo yang datang daripada hari-hari biasanya. Walaupun seringnya
Matteo sendiri yang datang ke sekolah itu. Matteo membawa banyak bibit pohon.
Beserta alat-alat untuk menanam. Teman-teman Matteo dan Rezvan membantu
menurunkan bibit pohon itu dari mobil pick up.
Bergegas
Matteo dan Rezvan menentukan tempat yang cocok untuk menanam bibit pohon itu.
Rezvan menunjuk ke gunung yang ada di dekat sungai cokelat itu. Sudah tidak ada
lalu lalang truk lagi di gunung itu. Gunung yang sudah terbengkalai. Tidak
mampu untuk menumpuk sampah-sampah lagi. Tempat yang cocok untuk menanam.
Tempatnya juga cocok karena dekat dengan sumber air.
Rezvan
memimpin jalan menuju gunung, yang lainnya mengikuti di belakang. Para orang
tua tidak mengiraukan kegiatan Rezvan dan Matteo. Mereka hanya melihat dari
kejauhan. Lebih fokus pada mencari botol-botol plastik, atau kertas kardus jika
beruntung.
Matteo
mencangkul sampah menggunung itu. Namanya gunung sampah, tentunya hanya sampah
saja isinya, sedikit tanah dan paling banyak plastik yang belum terurai. Dengan
api semangat Matteo tetap melanjutkan menanamnya. Setelah lubang yang dicangkul
dikira cukup. Matteo mengambil bibit pohon, melepaskannya dari plastik polybag.
Kemudian menanamnya dan menyiramnya untuk kebutuhan tanamannya.
Setelah
Matteo mencontohkan. Rezvan dan teman-temannya mengikuti menanam bibit yang
telah diberikan oleh teman-teman Matteo seperti yang Matteo contohkan
sebelumnya. Kegiatan tanam menanam
berakhir sore itu. Rezvan sudah berangan-angan bermain dengan ikan, dan tidur
di bawah rindangnya pepohonan. Seperti yang ia bayangkan pada buku itu.
Rezvan,
Sayuda dan teman-temannya setiap hari menyirami tanaman yang kemarin mereka
tanam. Setiap hari, masing-masing dari mereka mengambil air dengan botol
plastik sebelum berangkat mengais sampah plastik dan kertas-kertas yang kering.
Tanaman itu dirawat dengan sepenuh hati sudah dianggap seperti teman sendiri.
Beberapa
hari berlalu, satu persatu tanaman daunnya menguning. Lima hari kemudian
daun-daunnya kering dan rontok. Pada akhirnya hanya sisa satu tanaman yang
hidup. Rezvan dan Sayuda mengadu pada Matteo apa yang telah terjadi pada
sekolah selanjutnya.
“Sepertinya
perlu perlakuan yang istimewa pada tanaman itu. Mereka semua stress karena
tidak dapat pasokan makanan dari sampah plastik. Mereka tidak bisa berkembang”
jawab Matteo setelah mendengar cerita Rezvan.
Mereka
semua pergi ke gunung itu untuk melihat kondisi tanaman itu. Setelah berpikir
panjang, Matteo mendapatkan solusi untuk mengatasi hal itu. Tidak menunggu
pertemuan sekolah minggu depan, keesokan harinya Matteo datang beserta
teman-temannya membawa bibit pohon baru dan beberapa karung tanah.
Cara
menanam kali ini sedikit berbeda dengan minggu yang lalu. Matteo kembali
mencontohkan teknik menanam tanaman yang baru. Yang dilakukan pertama kali
yaitu mencangkul hingga membuat kubangan. Kemudian kubangan yang telah dibuat
ditimpa dengan tanah sebelum ditanami. Matteo bilang, tanaman butuh tanah untuk
hidup. Tanaman tidak akan tumbuh jika hidup di atas sampah plastik. Tidak ada
makanan bagi tanaman. Tanah yang tersebut bukan tanah biasa. Tanah itu sudah
tercampur dengan kotoran hewan. Sontak Rezvan, Sayuda dan teman-temannya kaget
dengan pernyataan Matteo. Setelah tanah itu sudah dikira cukup, bibit pohon
dilepaskan dari plastik polybag dan dibenamkan pada tanah yang disediakan
sebelumnya. Terakhir disiram dengan air.
****
Sambutan
sangat meriah. Suara tepuk tangan memenuhi aula pertemuan yang mewah itu.
Kilatan cahaya kamera menyilaukan mata. Aula itu terletak di salah satu gedung
pencakar langit di dekat gunung itu. Seseorang lelaki dewasa itu siap
memberikan satu patah dua patah kata-kata.
“Terimakasih
Matteo, Sayuda dan teman-teman sekalian. Jika bukan karena kalian semua pasti
aku tidak akan beridiri bangga disini. Perjuangan selama tiga puluh tahun
lamanya, keringat dan panas sudah kita lalui bersama. Terimakasih juga pada
bapak wali kota. Kini berkat dukungan dan bantuan bapak wali kota, gunung itu
menjadi tempat yang saya cita-citakan. Banyak pepohonan dan sungai itu menjadi
taman bermainnnya ikan. Gunung sampah itu kini menjadi tempat kembalinya lelah
letihnya kepadatan kota. Tidak ada lagi sampah, tidak ada lagi bau menyengat.
Kini gunung itu menjadi tempat hidupnya burung-burung yang berwarna warni.
Terimakasih banyak atas dukungan kalian” Rezvan mengakhiri pidatonya setelah
menerima penghargaan dari wali kota dalam upayanya merubah tempat pembuangan
sampah akhir terbesar di kota itu menjadi taman kota yang sangat modern.
Berkat
kerja kerasnya Rezvan, wali kota merealisasikan rencananya melalui Matteo. Yang
terpenting adalah kebijakan wali kota pada orang-orang yang membuang sampah
sembarangan dan diberlakukan kebijakan pengurangan penggunaan plastik dalam
perindustrian.
Sekarang
gunung itu telah benar-benar menjadi seperti yang kakeknya Matteo ceritakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar