Oleh : Rohimul Hadi
Nippon adalah penipu
“Pengumuman
!!! Pengumuman !!! Pengumuman !!!” Pak RT berteriak-teriak dari depan halaman
rumahnya. Ada kabar bahagia yang sampai di rumah Pak RT. Kabar baik lainnya
setelah nippon itu datang.
Kabar
baik itu berupa dibukanya lowongan pekerjaan yang sangat besar. Setelah
membebaskan dari kekejaman londo, orang-orang bermata sipit itu mendapat
hati warga. “Saudara lama” mereka menyebutnya. Maka, berbondong-bondonglah warga
mendaftarkan diri tanpa mempedulikan kaki-kaki tanpa alas itu. Tanpa terkecuali
bapaknya Resti dan tetangganya.
“Pak
Rt, beneran ini Saudara lama ngasih lowongan pekerjaan? Upahnya juga dikasih di
awal?” bapaknya Resti bersemangat membayangkan ketika mendapat pekerjaan. Ia
dapat menanggalkan baju lusuhnya yang sudah tidak putih lagi warnanya.
Bapaknya
Resti dan tetangganya resmi mendaftar pekerjaan. Pak RT menjelaskan dibukanya
lowongan pekerjaan besar-besaran bertujuan untuk mendukung militer Jepang,
mulai dari pembangunan bandara untuk mobilitas pasukan, pembangunan jalur
kereta api untuk urusan logistik, pekerjaan di pabrik untuk membuat peluru dan
senjata-senjata dan juga pelabuhan untuk memperkuat kekuatan laut. Kekuatan
militer sangat dibutuhkan untuk menghadapi perang pasifik. Kemenangan dari
perang pasifik merupakan kemenangan sesungguhnya. Warga di desa kecil tempat
Resti mungil hidup, bahkan seluruh hindia-belanda akan makmur di tangan orang bermata
sipit.
Setelah
pendaftaran, pada hari berikutnya bapaknya Resti pamit dari keluarganya
meninggalkan Resti yang masih belia dan istrinya. Tidak banyak yang dapat
dibawa untuk bekal. Hanya pakaian ganti yang dibungkus kain dan beberapa jumput
beras. Karena kekejaman Londo, hidup warga desa menjadi sengsara.
Tanpa
alas kaki bapaknya Resti dan tetangganya pamit meninggalkan keluarganya
masing-masing. Seorang wanita muda dan anak perempuan mengecup tangan kasar
lelaki paruh baya. Pak RT dan perwakilan nippon siap pergi. Dari rumah
Pak RT sudah ada angkutan yang siap membawa orang-orang yang akan bekerja. Isak tangis dari keluarga tak terbendung. Besar
harapan ketika mereka kembali dari pekerjaan yang dijanjikan. Bapaknya Resti
dan warga sudah masuk ke dalam bis. Sekitar tiga puluh orang berdesak dalam bis.
Seperti yang dijanjikan, bapaknya Resti sampai
di tempat proyek. Ada puluhan hingga ratusan orang sudah berkumpul disana.
Mereka dibariskan di tanah lapang nan gersang. Di hadapan mereka sudah ada
alat-alat untuk melaksanakan pekerjaanya masing-masing. Cangkul untuk menggali
tanah dan palu besar untuk memecah batu.
Hari
pertama berjalan dengan lancar, tidak ada kendala yang berarti. Mencangkul
meratakan tanah dan memecahkan bebatuan untuk bantalan rel dan yang lainnya
menggotong lempengan baja untuk rel kereta. Semua berjalan dengan tertib dengan
diawasi oleh nippon. Panas dan keringat tidak menghalangi untuk bekerja,
mereka sudah biasa dengan kondisi tersebut. Tanpa alas kaki dan beberapa tidak
mengenakan baju untuk melindungi dari terik matahari.
Nasib
malang menimpa seluruh pekerja massal ketika sampai pada jam istirahat.
Bapaknya Resti paling keras suaranya memprotes jatah makan siang. Yang lain
tidak ada yang berani memprotes setelah melihat bapaknya Resti ditimpuk pakai
tongkat oleh pengawas proyek pembuatan jalur kereta. Bagaimana tidak mau
protes, setelah sekian keras bekerja di bawah terik matahari. Mereka, bapaknya
Resti hanya mendapat sejumput nasi dan satu teguk air. Tidak kurang dan tidak
lebih. Bapaknya Resti melakukan pembelaan meminta haknya untuk makan. Bukan
makanan yang ia dapat, malah luka lebam di pipi dan di kaki akibat sabetan
tongkat. Sungguh mengenaskan keadaan kala itu. orang-orang mulai tidak kuat
dalam bekerja. Siapa saja yang berhenti bekerja walau sejenak, tongkat yang
dibawa nippon sudah siap melayang dan memberi bekas di bagian tubuh mana
saja.
Bagi
yang orang-orang yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan berat, mereka sangat
rentan. Beberapa pingsan karena tidak kuat melakukan pekerjaannya, luka batin
juga mengenai mental mereka. Teriakan-teriakan di telinga, bentakan-bentakan
tak berjiwa. Sungguh malang nasib mereka, berniat menjemput kebahagiaan yang
didapat malah kebalikan. Janji manis
hanyalah janji palsu seperti halnya londo. Orang asing tidak bisa
dipercaya. Orang asing adalah penipu.
***
Resti
yang masih belia selalu menanyakan kabar bapaknya, kemana ia pergi dan kapan ia
kembali. Resti mungil merindukan bapaknya. Seorang yang selalu ceria
menghiburnya dengan tingkah konyol. Membayangkan gelak tawa Resti mungil membuat
ibunya juga merindu.
“Bu,
Bapak kapan pulang? Resti rindu bapak” tanya perempuan menggemaskan itu.
“Sabar
ya, Nak! Bapak pasti pulang segera, Resti ingin oleh-oleh apa pas Bapak pulang
nanti?” jawab ibunya menenangkan, padahal tidak tahu sebenarnya apa yang
terjadi pada suaminya. Tidak tahu kapan akan pulang.
“Resti
gak pengen oleh-oleh. Resti pengen bapak. Resti pengen peluk bapak” jawab Resti
menggemaskan. Ibunya memeluk Resti sambil mengelus kepalanya.
Nippon bukanlah orang baik. Ibunya Resti
tahu kelakuan bejat mereka. Beberapa waktu lalu mereka datang ke desa. Menjarah
semua persediaan makanan tiap rumah. Tanpa salam tanpa sapa mereka langsung
merangsek ke dalam rumah Resti. Ibunya mencegah nippon masuk, tapi apa
daya, ibunya Resti hanya wanita lemah. Terbilang tiga orang masuk ke dalam
rumah, sisanya masuk ke rumah lainnya bersamaan. Satu orang menjaga Resti dan
Ibunya, dua lainnya menggeledah isi rumah. Mereka mengambil sekarung beras sisa
hasil panen sebelum bapaknya Resti pergi bekerja untuk nippon. Sekarung
terakhir untuk makan beberapa bulan ke depan. Ibunya Resti merengek dan mencoba
merangsek dari penjagaan nippon, tapi percuma saja, ia hanya mendapatkan
lebam di lengan terhantam tongkat nippon yang menjaganya. Resti menangis kencang melihat kerusuhan di
dalam rumah. Ibunya mendekapnya, melindungi sepenuh raga mencegah ia disakiti
oleh nippon.
Pak
RT pun merasa tertipu atas janji orang-orang bermata sipit. Sapi yang ia punya
di halaman belakang rumah juga raib dibawa. Semuanya habis dibawa oleh mereka.
Warga desa sudah tidak punya lagi persediaan makanan. Mereka terancam kelaparan.
****
Hari-hari
berlalu kemudian berganti minggu lalu bulan. Tubuh para pekerja sudah mengering
tinggal tulang dan kulit. Tulang-tulang rusuk mereka sangat jelas terlihat,
tidak ada otot bisep ataupun trisep. Jumlah mereka pun berkurang dari hari pertama
datang. Berkurang hampir satu pertiga dari total pekerja. Sungguh malang nasib
mereka.
Bapaknya
Resti juga bernasib sama. Ia tidak kekar lagi seperti sedia kala. Tetangganya
juga sama. Tapi bapaknya Resti memiliki banyak luka lebam di tubuhnya. Ia
selalu saja protes dan sangat berani melawan penjaga proyek pembuatan jalur
kereta. Tidak ada obat-obatan, yang luka tetap bekerja tidak ada kompensasi.
Yang malas-malasan siap mendapat bentakan di telinga dan pukulan dengan
tongkat.
Pada
akhirnya tubuh kekar bapaknya Resti tumbang. Ia pingsan sudah tidak kuat
menahan panas, lapar dan haus ditambah luka-luka yang ia terima. Tetangganya tidak
bisa berbuat apa-apa. Tidak berani membantu. Ia tergeletak lemas, ditendang-tendang
oleh nippon lalu menggeretnya ke pinggir tempat proyek. Digeletakkan
begitu saja. Tetangganya mencuri waktu kelalaian pengawas proyek, lalu
menepuk-nepuk badan bapaknya Resti. Percuma saja, bapaknya Resti tidak
terselamatkan lagi. Ia resmi telah bebas dari kekejaman nippon.
Tetangganya menangis tanpa air mata. Tidak rela ditinggalkan. Tapi apa daya, ia
kembali ke pekerjaannya sebelum pengawas tahu dan memukulnya.
Sebulan
setelah kepergian bapaknya Resti. Akhirnya proyek pembuatan jalur kereta selesai.
Nippon memberi kabar baik jika mereka akan diantar pulang ke kampung
halaman masing-masing. Mereka merespon lega, walau tidak mendapatkan upah.
Tidak lama lagi masing-masing dari mereka dapat bertemu keluarga yang
ditinggal.
Bis-bis
sudah disiapkan, mereka semua dikumpulkan. Sore itu menjadi hari yang paling
ditunggu. Berdesak-desakan kembali dengan hati yang lega. Bebas dari pekerjaan
yang tak manusiawi.
Bis berwarna hijau yang ditumpangi warga desa
tempat Resti tinggal pun sampai. Orang-orang mengintip dari dalam rumah
masing-masing. Sangat jarang ada kendaraan lewat di sana. Awalnya mereka tidak
berani keluar dari rumah, bahkan lari bersembunyi ke dalam rumah. Nippon
telah melukai hati warga desa, bahkan lebih dari itu. Tapi setelah melihat yang
dibawa oleh bis adalah warga desa. Ketika penumpangnya turun. Orang-orang mulai
keluar dan mendatangi bis.
“Ibu...!
Ibu...! lihat...! Hore bapak pulang” Resti mungil keluar bersama ibunya.
Mereka
berdua menuju ke tempat bis berhenti. Kebanyakan dari warga menangis setelah
melihat kondisi fisik lelaki yang telah meninggalkannya beberapa bulan yang
lalu. Fisik yang kurus kering sangat memprihatinkan. Keadaan desa pun sama,
pasokan makanan sangat kurang. Tapi warga masih beruntung tidak sampai kurus
kering, mereka masih bisa makan dari tumbuhan-tumbuhan disekitar rumah. Punya
stok beras pun harus benar-benar di sembunyikan.
“Bapaknya
Resti sudah tiada” tetangganya bilang ke ibunya Resti.
“Tidak
mugkin, dia lelaki kuat. Dia masih ada, jangan bilang jika dia sudah tiada” Ibu
Resti berkaca-kaca.
“Sabar.
Dia memang kuat, dia sangat berani menentang orang bermata sipit. Tapi keadaan
tidak berpihak ke dia. Resti yang sabar ya!” ucap tetangganya itu sambil
mengelus kepala Resti.
Melihat
ibunya menangis, perempuan mungil itu ikut menangis. Ibunya mendekap. Mereka
menangis dalam pelukan. Sungguh malang nasib perempuan kecil bernama Resti.
Lahir di era yang tidak tepat. Era yang tidak ramah untuk anak kecil. Tidak ada
mainan, tidak ada makanan enak dan tidak baju bagus. Resti yang malang, harus
kehilangan seorang bapak di zaman yang serba tidak enak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar