Minggu, 31 Januari 2021

ROMUSHA


Oleh : Rohimul Hadi

Nippon bukan saudara jauh
Nippon bukan penerang bangsa
Nippon adalah penipu

“Pengumuman !!! Pengumuman !!! Pengumuman !!!” Pak RT berteriak-teriak dari depan halaman rumahnya. Ada kabar bahagia yang sampai di rumah Pak RT. Kabar baik lainnya setelah nippon itu datang.

Kabar baik itu berupa dibukanya lowongan pekerjaan yang sangat besar. Setelah membebaskan dari kekejaman londo, orang-orang bermata sipit itu mendapat hati warga. “Saudara lama” mereka menyebutnya. Maka, berbondong-bondonglah warga mendaftarkan diri tanpa mempedulikan kaki-kaki tanpa alas itu. Tanpa terkecuali bapaknya Resti dan tetangganya.

“Pak Rt, beneran ini Saudara lama ngasih lowongan pekerjaan? Upahnya juga dikasih di awal?” bapaknya Resti bersemangat membayangkan ketika mendapat pekerjaan. Ia dapat menanggalkan baju lusuhnya yang sudah tidak putih lagi warnanya.

Bapaknya Resti dan tetangganya resmi mendaftar pekerjaan. Pak RT menjelaskan dibukanya lowongan pekerjaan besar-besaran bertujuan untuk mendukung militer Jepang, mulai dari pembangunan bandara untuk mobilitas pasukan, pembangunan jalur kereta api untuk urusan logistik, pekerjaan di pabrik untuk membuat peluru dan senjata-senjata dan juga pelabuhan untuk memperkuat kekuatan laut. Kekuatan militer sangat dibutuhkan untuk menghadapi perang pasifik. Kemenangan dari perang pasifik merupakan kemenangan sesungguhnya. Warga di desa kecil tempat Resti mungil hidup, bahkan seluruh hindia-belanda akan makmur di tangan orang bermata sipit.

Setelah pendaftaran, pada hari berikutnya bapaknya Resti pamit dari keluarganya meninggalkan Resti yang masih belia dan istrinya. Tidak banyak yang dapat dibawa untuk bekal. Hanya pakaian ganti yang dibungkus kain dan beberapa jumput beras. Karena kekejaman Londo,  hidup warga desa menjadi sengsara.

Tanpa alas kaki bapaknya Resti dan tetangganya pamit meninggalkan keluarganya masing-masing. Seorang wanita muda dan anak perempuan mengecup tangan kasar lelaki paruh baya. Pak RT dan perwakilan nippon siap pergi. Dari rumah Pak RT sudah ada angkutan yang siap membawa orang-orang yang akan bekerja.  Isak tangis dari keluarga tak terbendung. Besar harapan ketika mereka kembali dari pekerjaan yang dijanjikan. Bapaknya Resti dan warga sudah masuk ke dalam bis. Sekitar tiga puluh orang berdesak dalam bis.

 Seperti yang dijanjikan, bapaknya Resti sampai di tempat proyek. Ada puluhan hingga ratusan orang sudah berkumpul disana. Mereka dibariskan di tanah lapang nan gersang. Di hadapan mereka sudah ada alat-alat untuk melaksanakan pekerjaanya masing-masing. Cangkul untuk menggali tanah dan palu besar untuk memecah batu.

Hari pertama berjalan dengan lancar, tidak ada kendala yang berarti. Mencangkul meratakan tanah dan memecahkan bebatuan untuk bantalan rel dan yang lainnya menggotong lempengan baja untuk rel kereta. Semua berjalan dengan tertib dengan diawasi oleh nippon. Panas dan keringat tidak menghalangi untuk bekerja, mereka sudah biasa dengan kondisi tersebut. Tanpa alas kaki dan beberapa tidak mengenakan baju untuk melindungi dari terik matahari.

Nasib malang menimpa seluruh pekerja massal ketika sampai pada jam istirahat. Bapaknya Resti paling keras suaranya memprotes jatah makan siang. Yang lain tidak ada yang berani memprotes setelah melihat bapaknya Resti ditimpuk pakai tongkat oleh pengawas proyek pembuatan jalur kereta. Bagaimana tidak mau protes, setelah sekian keras bekerja di bawah terik matahari. Mereka, bapaknya Resti hanya mendapat sejumput nasi dan satu teguk air. Tidak kurang dan tidak lebih. Bapaknya Resti melakukan pembelaan meminta haknya untuk makan. Bukan makanan yang ia dapat, malah luka lebam di pipi dan di kaki akibat sabetan tongkat. Sungguh mengenaskan keadaan kala itu. orang-orang mulai tidak kuat dalam bekerja. Siapa saja yang berhenti bekerja walau sejenak, tongkat ­yang dibawa nippon sudah siap melayang dan memberi bekas di bagian tubuh mana saja.

Bagi yang orang-orang yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan berat, mereka sangat rentan. Beberapa pingsan karena tidak kuat melakukan pekerjaannya, luka batin juga mengenai mental mereka. Teriakan-teriakan di telinga, bentakan-bentakan tak berjiwa. Sungguh malang nasib mereka, berniat menjemput kebahagiaan yang didapat malah kebalikan.  Janji manis hanyalah janji palsu seperti halnya londo. Orang asing tidak bisa dipercaya. Orang asing adalah penipu.

***

Resti yang masih belia selalu menanyakan kabar bapaknya, kemana ia pergi dan kapan ia kembali. Resti mungil merindukan bapaknya. Seorang yang selalu ceria menghiburnya dengan tingkah konyol. Membayangkan gelak tawa Resti mungil membuat ibunya juga merindu.

“Bu, Bapak kapan pulang? Resti rindu bapak” tanya perempuan menggemaskan itu.

“Sabar ya, Nak! Bapak pasti pulang segera, Resti ingin oleh-oleh apa pas Bapak pulang nanti?” jawab ibunya menenangkan, padahal tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi pada suaminya. Tidak tahu kapan akan pulang.

“Resti gak pengen oleh-oleh. Resti pengen bapak. Resti pengen peluk bapak” jawab Resti menggemaskan. Ibunya memeluk Resti sambil mengelus kepalanya.

Nippon bukanlah orang baik. Ibunya Resti tahu kelakuan bejat mereka. Beberapa waktu lalu mereka datang ke desa. Menjarah semua persediaan makanan tiap rumah. Tanpa salam tanpa sapa mereka langsung merangsek ke dalam rumah Resti. Ibunya mencegah nippon masuk, tapi apa daya, ibunya Resti hanya wanita lemah. Terbilang tiga orang masuk ke dalam rumah, sisanya masuk ke rumah lainnya bersamaan. Satu orang menjaga Resti dan Ibunya, dua lainnya menggeledah isi rumah. Mereka mengambil sekarung beras sisa hasil panen sebelum bapaknya Resti pergi bekerja untuk nippon. Sekarung terakhir untuk makan beberapa bulan ke depan. Ibunya Resti merengek dan mencoba merangsek dari penjagaan nippon, tapi percuma saja, ia hanya mendapatkan lebam di lengan terhantam tongkat nippon yang menjaganya.  Resti menangis kencang melihat kerusuhan di dalam rumah. Ibunya mendekapnya, melindungi sepenuh raga mencegah ia disakiti oleh nippon.

Pak RT pun merasa tertipu atas janji orang-orang bermata sipit. Sapi yang ia punya di halaman belakang rumah juga raib dibawa. Semuanya habis dibawa oleh mereka. Warga desa sudah tidak punya lagi persediaan makanan. Mereka terancam kelaparan.

****

Hari-hari berlalu kemudian berganti minggu lalu bulan. Tubuh para pekerja sudah mengering tinggal tulang dan kulit. Tulang-tulang rusuk mereka sangat jelas terlihat, tidak ada otot bisep ataupun trisep. Jumlah mereka pun berkurang dari hari pertama datang. Berkurang hampir satu pertiga dari total pekerja. Sungguh malang nasib mereka.

Bapaknya Resti juga bernasib sama. Ia tidak kekar lagi seperti sedia kala. Tetangganya juga sama. Tapi bapaknya Resti memiliki banyak luka lebam di tubuhnya. Ia selalu saja protes dan sangat berani melawan penjaga proyek pembuatan jalur kereta. Tidak ada obat-obatan, yang luka tetap bekerja tidak ada kompensasi. Yang malas-malasan siap mendapat bentakan di telinga dan pukulan dengan tongkat.

Pada akhirnya tubuh kekar bapaknya Resti tumbang. Ia pingsan sudah tidak kuat menahan panas, lapar dan haus ditambah luka-luka yang ia terima. Tetangganya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak berani membantu. Ia tergeletak lemas, ditendang-tendang oleh ­nippon lalu menggeretnya ke pinggir tempat proyek. Digeletakkan begitu saja. Tetangganya mencuri waktu kelalaian pengawas proyek, lalu menepuk-nepuk badan bapaknya Resti. Percuma saja, bapaknya Resti tidak terselamatkan lagi. Ia resmi telah bebas dari kekejaman nippon. Tetangganya menangis tanpa air mata. Tidak rela ditinggalkan. Tapi apa daya, ia kembali ke pekerjaannya sebelum pengawas tahu dan memukulnya.

Sebulan setelah kepergian bapaknya Resti. Akhirnya proyek pembuatan jalur kereta selesai. Nippon memberi kabar baik jika mereka akan diantar pulang ke kampung halaman masing-masing. Mereka merespon lega, walau tidak mendapatkan upah. Tidak lama lagi masing-masing dari mereka dapat bertemu keluarga yang ditinggal.

Bis-bis sudah disiapkan, mereka semua dikumpulkan. Sore itu menjadi hari yang paling ditunggu. Berdesak-desakan kembali dengan hati yang lega. Bebas dari pekerjaan yang tak manusiawi.

  Bis berwarna hijau yang ditumpangi warga desa tempat Resti tinggal pun sampai. Orang-orang mengintip dari dalam rumah masing-masing. Sangat jarang ada kendaraan lewat di sana. Awalnya mereka tidak berani keluar dari rumah, bahkan lari bersembunyi ke dalam rumah. Nippon telah melukai hati warga desa, bahkan lebih dari itu. Tapi setelah melihat yang dibawa oleh bis adalah warga desa. Ketika penumpangnya turun. Orang-orang mulai keluar dan mendatangi bis.

“Ibu...! Ibu...! lihat...! Hore bapak pulang” Resti mungil keluar bersama ibunya.

Mereka berdua menuju ke tempat bis berhenti. Kebanyakan dari warga menangis setelah melihat kondisi fisik lelaki yang telah meninggalkannya beberapa bulan yang lalu. Fisik yang kurus kering sangat memprihatinkan. Keadaan desa pun sama, pasokan makanan sangat kurang. Tapi warga masih beruntung tidak sampai kurus kering, mereka masih bisa makan dari tumbuhan-tumbuhan disekitar rumah. Punya stok beras pun harus benar-benar di sembunyikan.

“Bapaknya Resti sudah tiada” tetangganya bilang ke ibunya Resti.

“Tidak mugkin, dia lelaki kuat. Dia masih ada, jangan bilang jika dia sudah tiada” Ibu Resti berkaca-kaca.

“Sabar. Dia memang kuat, dia sangat berani menentang orang bermata sipit. Tapi keadaan tidak berpihak ke dia. Resti yang sabar ya!” ucap tetangganya itu sambil mengelus kepala Resti.

Melihat ibunya menangis, perempuan mungil itu ikut menangis. Ibunya mendekap. Mereka menangis dalam pelukan. Sungguh malang nasib perempuan kecil bernama Resti. Lahir di era yang tidak tepat. Era yang tidak ramah untuk anak kecil. Tidak ada mainan, tidak ada makanan enak dan tidak baju bagus. Resti yang malang, harus kehilangan seorang bapak di zaman yang serba tidak enak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar