Cerpen oleh Rohimul Hadi
Sore yang membiru. Awan bergelombang menghitam. Udara terasa
mendingin. Badai akan datang sore ini. Tanda waktunya pulang sebelum Emak
marah-marah karena sudah sore anaknya belum terlihat batang hidungnya. Aku, Parjo dan Supeno masih sibuk memancing
di pinggir tebing bebatuan. Sedari tadi siang hasil memancingku sudah banyak.
Sudah dapat tiga ikat ikan. Menggunakan rumput dimasukkan lewat insang dan
keluar dari mulut, cukup untuk membawa hasil pancingan. Tidak perlu pakai
plastik ataupun wadah. Satu ikat sudah sekitar sepuluh sampai lima belas ekor
ikan. Sudah lebih dari cukup hasil dari memancing hari ini.
Aku mengajak Parjo dan Supeno untuk pulang. Selain hari sudah sore,
awan kelabu pun bertanda akan datang nya hujan. Tapi Parjo dan Supeno tak mau
pulang. Mereka berdalih di hulu sana masih ada satu tempat terakhir untuk
memancing. Disana besar-besar dan banyak ikannya.
“Parjo ayo pulang! Sudah sore ini, lihat ke atas mau hujan ini.
Sudah banyak juga hasil mancingnya” sambil menunjuk langit yang kelabu. “Supeno
ayok balik, nanti ibumu nyariin loh. Ibu mu kan kayak bebek mulutnya”.
“Hush, beraninya kau ngata-ngatain ibuku. Mulut bisa kayak bebek
itu memang dia peduli sama aku. Nanti dulu lah, di atas masih ada tempat
mancing lagi. Banyak dan besar-besar disana. Iya kan Parjo?” jawab Supeno.
Supeno beranjak, menaikkan pancingnya dan bergegas ke tempat
memancing yang dia ceritakan. Parjo mengikuti dari belakang. Aku pun tak bisa
berkata apa. Mau pulang sendirian pun rasanya takut. Sepi, hutan lebat. Jika
ada harimau dijalan mau bisa apa aku. Dengan terpaksa aku mengikuti Parjo dan
Supeno.
Sesampainya ditempat yang dituju. Ternyata benar dari sisi tebing
terlihat banyak ikan berenang dibalik beningnya air sungai. “Wah bener kau
Parjo, banyak ikannya. Belum pernah aku mancing kesini. Tapi mancingnya dari
mana. Susah loh, ini tebing bebatuan”.
“Rugi kan ibarat kau pulang duluan tadi” senyum khas ledekan parjo.
“Hati-hati kau Kardi, salah langkah sedikit, terpeleset hancur lah
tulang kau” bilang Supeno.
Aku melangkah hati-hati. Tebing bebatuan ini memang sedikit licin.
Parjo dan Supeno sudah di tempat favoritnya. Mereka memang sering mancing
disini. Jadi sudah tahu posisi yang paling enak dimana. Berbeda dengan aku. Aku
baru kali ini diajak mancing di sini.
“Grubass..., Buggghh....” Aku merintih kesakitan terpeleset dari
tebing jatuh tepat di bebatuan bawahnya.
“Barusan aku bilang suruh hati-hati. Belum ada sedetik pun. Kardi
malah jatuh terpeleset” Supeno sambil menggumal.
“Hey Supeno bantu itu Kardi, malah meracau begitu. Itu lihat Kardi
kesakitan” Parjo membentak.
Mereka berdua turun untuk membantu ku. Aku tak bisa berbicara
beberapa detik karena dadaku menabrak batu. Tangan kanan ku mati rasa. Kalah
sakitnya dengan dada. Justru yang parah adalah di tangan kanan. Tidak bisa ku
gerakkan. Aku belum melihat tanganku. Masih menahan rasa sakit di dada. Entah
kemana sudah tiga ikat hasil memancingku hari ini. Hanyut terbawa arus sungai.
“Oy Parjo. Bahaya ini. Lihat tangan kardi bengkok begitu. Patah itu
sepertinya” Supeno panik.
“Ayo angkat kardi, awas tangannya itu. Kamu cari pohon pisang.
Kardi kau dengar aku?” Parjo menyuruh Supeno untuk bergegas.
Aku masih merintih tidak bisa menjawab. Beberapa saat kemudia
Supeno datang membawa batang pohon pisang. Ia belah pohon pisang itu dan
mengambil dua helai gedebog nya. Tarjo mengangkat tangan kananku. Terasa
dingin. Diangkatnya dengan hati-hati dan meluruskannya. Lengan ku diletakkan
dengan hati-hati dan di ikatnya dengan tali dari kulit pohon pisang itu.
Saat selesai mengikat tanganku. Aku mulai bisa berdiri. Tanganku
mulai terasa perih. Sepertinya patah. Aku berjalan dengan lemah dituntun Parjo
dan Supeno menaiki tebing bebatuan itu. Akhirnya kami bertiga pulang. Entah
bagaimana pikir ibu ku. Pasti dia menangis. Dia cengeng. Hujan mulai turun.
***
“Kardi kemana ini kok belum pulang dari mancing sama Parjo dan
Supeno. Hujan deras juga ini Pak. Pasti terjadi apa-apa disana?” ibu sambil
bersandar dipundak bapak melihat ke jalan di depan rumah.
“Tidak usah khawatir Bu, Kardi anak laki-laki. Tidak perlu ada yang
di khawatirkan. Dia anak Bapak. ” sambil menepuk dada.
“Tapi Pak, Sekarang sorenya sudah mau habis Pak” Ibu Khawatir.
Hujan semakin deras. Aku belum juga sampai ke rumah. Aku juga
berpikir pasti ibu sangat khawatir. Aku tak bisa jalan cepat, karena menahan
sakitnya tangan kanan yang patah. Apalagi untuk berlari. Sampai rumah pasti
ketika sudah langit sudah mulai menggelap. Aku basah kuyup. Daun pisang yang
Supeno ambil untuk dijadikan payungpun tidak begitu efektif menangkal buliran
air hujan.
“Pak Ayo susul Kardi. Sudah tidak sabar saya Pak. Pasti ada apa-apa
dengan anak itu” ibu terus memelas.
Karena bapak tidak tega melihat wajah ibu yang sudah mulai kucel
memelas, akhirnya bapak meng iyakan. Ketika ibu kembali dari mengambil payung
terlihat tiga anak berjalan lambat dengan berpayung daun pisang dibawah
derasnya hujan.
“Nak... dari mana saja tadi kok belum pulang” teriak ibu dari
kejauhan.
“Itu kenapa tangan kanan kamu, kok di gendong pakai gedebog
pisang?” Tanya Ibu. Aku masih dijalan, belum sampai di rumah.
“Kardi habis jatuh Bu Malih” sahut Parjo.
Ibu berlari menembus hujan mendengar Parjo bilang seperti itu.
Mendengar aku telah jatuh. Ia lupa akan payungnya. Basahlah baju dan rambut ibu
terkena air hujan.
“Pak.... apa ibu bilang. Pasti ada apa-apa sama Kardi” bilang ibu.
Bapak dengan sigap mengambil payung yang ibu tinggalkan. Ia
bergegas menuju rumah Mbah Juwariyah. Dia ahli dalam bidang tulang-belulang.
Ibu masuk ke dalam kamar mencarikan pakaian kering ku untuk menggantikan
pakaian basah yang menempel. Ia melepaskan baju dengan hati-hati. Karena takut
menyakiti ku. Akhirnya Ibu mengambil gunting dan memotong baju ku. kemudian
mengantikan celana ku. Aku masih seumuran anak SD. Jadi tidak masalah dengan
hal ganti menganti pakaian di depan Parjo dan Supeno.
Hujan masih deras, tapi sudah tidak sederas tadi. Langit juga sudah
menggelap. Lampu rumah juga sudah menyala dari sebelum aku datang. Bapak datang
bersama Mbah Juwariyah. Dilepas lah kulit pohon pisang dari tanganku dengan
hati-hati. Tangan ku dioleskan minyak yang entah minyak apa itu. Rasanya hangat.
“Cekrakk.... Huaaa... hua...” dengan tanpa ampun Mbah juwariyah
meluruskan tangan kanan ku. Bunyi tulang sampai terdengar ke telinga. Ibuku
panik.
“Ini cuman tulangnya yang geser. Tidak apa-apa. Seminggu-dua minggu
sudah sembuh lengan ini. Suara gesekan tulang tadi menandakan tulangnya sudah
kembali ke posisi yang benar.
“Untung Nak tangan kamu tidak apa-apa. Lain kali tidak usah ada
acara mancing-mancing lagi. Parjo dan Supeno tidak usah ajak main yang
aneh-aneh lagi” sambil memarahi Parjo dan Supeno.
“Supeno dan Tarjo sudah pulang sana. Nanti Ibu kamu marah. Sudah
tau kan marahnya ibu kamu sudah kayak bebek mau dibakar. Ambil itu payung biar
nanti tidak tambah sakit kena hujan. Kembalikan besok pagi saja sambil nengok
temen kamu ini”. Ibu menasehati.
Semenjak saat itu ketika aku diajak main oleh Parjo sama Supeno,
ibu sudah seperti investigator. Bertanya mau main kemana, di tempat seperti
apa, pulang jam berapa, ketemu dengan siapa dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Tentunya hal itu karena ibu yang peduli dan sayangnya ke anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar