Selasa, 12 Januari 2021

Petaka Ajakan Parjo dan Supeno

Cerpen oleh Rohimul Hadi

Sore yang membiru. Awan bergelombang menghitam. Udara terasa mendingin. Badai akan datang sore ini. Tanda waktunya pulang sebelum Emak marah-marah karena sudah sore anaknya belum terlihat batang hidungnya.  Aku, Parjo dan Supeno masih sibuk memancing di pinggir tebing bebatuan. Sedari tadi siang hasil memancingku sudah banyak. Sudah dapat tiga ikat ikan. Menggunakan rumput dimasukkan lewat insang dan keluar dari mulut, cukup untuk membawa hasil pancingan. Tidak perlu pakai plastik ataupun wadah. Satu ikat sudah sekitar sepuluh sampai lima belas ekor ikan. Sudah lebih dari cukup hasil dari memancing hari ini.

Aku mengajak Parjo dan Supeno untuk pulang. Selain hari sudah sore, awan kelabu pun bertanda akan datang nya hujan. Tapi Parjo dan Supeno tak mau pulang. Mereka berdalih di hulu sana masih ada satu tempat terakhir untuk memancing. Disana besar-besar dan banyak ikannya.

“Parjo ayo pulang! Sudah sore ini, lihat ke atas mau hujan ini. Sudah banyak juga hasil mancingnya” sambil menunjuk langit yang kelabu. “Supeno ayok balik, nanti ibumu nyariin loh. Ibu mu kan kayak bebek mulutnya”.

“Hush, beraninya kau ngata-ngatain ibuku. Mulut bisa kayak bebek itu memang dia peduli sama aku. Nanti dulu lah, di atas masih ada tempat mancing lagi. Banyak dan besar-besar disana. Iya kan Parjo?” jawab Supeno.

Supeno beranjak, menaikkan pancingnya dan bergegas ke tempat memancing yang dia ceritakan. Parjo mengikuti dari belakang. Aku pun tak bisa berkata apa. Mau pulang sendirian pun rasanya takut. Sepi, hutan lebat. Jika ada harimau dijalan mau bisa apa aku. Dengan terpaksa aku mengikuti Parjo dan Supeno.

Sesampainya ditempat yang dituju. Ternyata benar dari sisi tebing terlihat banyak ikan berenang dibalik beningnya air sungai. “Wah bener kau Parjo, banyak ikannya. Belum pernah aku mancing kesini. Tapi mancingnya dari mana. Susah loh, ini tebing bebatuan”.

“Rugi kan ibarat kau pulang duluan tadi” senyum khas ledekan parjo.

“Hati-hati kau Kardi, salah langkah sedikit, terpeleset hancur lah tulang kau” bilang Supeno.

Aku melangkah hati-hati. Tebing bebatuan ini memang sedikit licin. Parjo dan Supeno sudah di tempat favoritnya. Mereka memang sering mancing disini. Jadi sudah tahu posisi yang paling enak dimana. Berbeda dengan aku. Aku baru kali ini diajak mancing di sini.

“Grubass..., Buggghh....” Aku merintih kesakitan terpeleset dari tebing jatuh tepat di bebatuan bawahnya.

“Barusan aku bilang suruh hati-hati. Belum ada sedetik pun. Kardi malah jatuh terpeleset” Supeno sambil menggumal.

“Hey Supeno bantu itu Kardi, malah meracau begitu. Itu lihat Kardi kesakitan” Parjo membentak.

Mereka berdua turun untuk membantu ku. Aku tak bisa berbicara beberapa detik karena dadaku menabrak batu. Tangan kanan ku mati rasa. Kalah sakitnya dengan dada. Justru yang parah adalah di tangan kanan. Tidak bisa ku gerakkan. Aku belum melihat tanganku. Masih menahan rasa sakit di dada. Entah kemana sudah tiga ikat hasil memancingku hari ini. Hanyut terbawa arus sungai.

“Oy Parjo. Bahaya ini. Lihat tangan kardi bengkok begitu. Patah itu sepertinya” Supeno panik.

“Ayo angkat kardi, awas tangannya itu. Kamu cari pohon pisang. Kardi kau dengar aku?” Parjo menyuruh Supeno untuk bergegas.

Aku masih merintih tidak bisa menjawab. Beberapa saat kemudia Supeno datang membawa batang pohon pisang. Ia belah pohon pisang itu dan mengambil dua helai gedebog nya. Tarjo mengangkat tangan kananku. Terasa dingin. Diangkatnya dengan hati-hati dan meluruskannya. Lengan ku diletakkan dengan hati-hati dan di ikatnya dengan tali dari kulit pohon pisang itu.

Saat selesai mengikat tanganku. Aku mulai bisa berdiri. Tanganku mulai terasa perih. Sepertinya patah. Aku berjalan dengan lemah dituntun Parjo dan Supeno menaiki tebing bebatuan itu. Akhirnya kami bertiga pulang. Entah bagaimana pikir ibu ku. Pasti dia menangis. Dia cengeng. Hujan mulai turun.

***

“Kardi kemana ini kok belum pulang dari mancing sama Parjo dan Supeno. Hujan deras juga ini Pak. Pasti terjadi apa-apa disana?” ibu sambil bersandar dipundak bapak melihat ke jalan di depan rumah.

“Tidak usah khawatir Bu, Kardi anak laki-laki. Tidak perlu ada yang di khawatirkan. Dia anak Bapak. ” sambil menepuk dada.

“Tapi Pak, Sekarang sorenya sudah mau habis Pak” Ibu Khawatir.

Hujan semakin deras. Aku belum juga sampai ke rumah. Aku juga berpikir pasti ibu sangat khawatir. Aku tak bisa jalan cepat, karena menahan sakitnya tangan kanan yang patah. Apalagi untuk berlari. Sampai rumah pasti ketika sudah langit sudah mulai menggelap. Aku basah kuyup. Daun pisang yang Supeno ambil untuk dijadikan payungpun tidak begitu efektif menangkal buliran air hujan.

“Pak Ayo susul Kardi. Sudah tidak sabar saya Pak. Pasti ada apa-apa dengan anak itu” ibu terus memelas.

Karena bapak tidak tega melihat wajah ibu yang sudah mulai kucel memelas, akhirnya bapak meng iyakan. Ketika ibu kembali dari mengambil payung terlihat tiga anak berjalan lambat dengan berpayung daun pisang dibawah derasnya hujan.

“Nak... dari mana saja tadi kok belum pulang” teriak ibu dari kejauhan.

“Itu kenapa tangan kanan kamu, kok di gendong pakai gedebog pisang?” Tanya Ibu. Aku masih dijalan, belum sampai di rumah.

“Kardi habis jatuh Bu Malih” sahut Parjo.

Ibu berlari menembus hujan mendengar Parjo bilang seperti itu. Mendengar aku telah jatuh. Ia lupa akan payungnya. Basahlah baju dan rambut ibu terkena air hujan.

“Pak.... apa ibu bilang. Pasti ada apa-apa sama Kardi” bilang ibu.

Bapak dengan sigap mengambil payung yang ibu tinggalkan. Ia bergegas menuju rumah Mbah Juwariyah. Dia ahli dalam bidang tulang-belulang.

Ibu masuk ke dalam kamar mencarikan pakaian kering ku untuk menggantikan pakaian basah yang menempel. Ia melepaskan baju dengan hati-hati. Karena takut menyakiti ku. Akhirnya Ibu mengambil gunting dan memotong baju ku. kemudian mengantikan celana ku. Aku masih seumuran anak SD. Jadi tidak masalah dengan hal ganti menganti pakaian di depan Parjo dan Supeno.

Hujan masih deras, tapi sudah tidak sederas tadi. Langit juga sudah menggelap. Lampu rumah juga sudah menyala dari sebelum aku datang. Bapak datang bersama Mbah Juwariyah. Dilepas lah kulit pohon pisang dari tanganku dengan hati-hati. Tangan ku dioleskan minyak yang entah minyak apa itu. Rasanya hangat.

“Cekrakk.... Huaaa... hua...” dengan tanpa ampun Mbah juwariyah meluruskan tangan kanan ku. Bunyi tulang sampai terdengar ke telinga. Ibuku panik.

“Ini cuman tulangnya yang geser. Tidak apa-apa. Seminggu-dua minggu sudah sembuh lengan ini. Suara gesekan tulang tadi menandakan tulangnya sudah kembali ke posisi yang benar.

“Untung Nak tangan kamu tidak apa-apa. Lain kali tidak usah ada acara mancing-mancing lagi. Parjo dan Supeno tidak usah ajak main yang aneh-aneh lagi” sambil memarahi Parjo dan Supeno.

“Supeno dan Tarjo sudah pulang sana. Nanti Ibu kamu marah. Sudah tau kan marahnya ibu kamu sudah kayak bebek mau dibakar. Ambil itu payung biar nanti tidak tambah sakit kena hujan. Kembalikan besok pagi saja sambil nengok temen kamu ini”. Ibu menasehati.

Semenjak saat itu ketika aku diajak main oleh Parjo sama Supeno, ibu sudah seperti investigator. Bertanya mau main kemana, di tempat seperti apa, pulang jam berapa, ketemu dengan siapa dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Tentunya hal itu karena ibu yang peduli dan sayangnya ke anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar