Sabtu, 04 Agustus 2018

Aku dan Segelas Cokelat Panas


                                                           Cerpen Oleh Rohimul Hadi 


    "Hey kau!. Bagaimana kabarmu?,kemana aja?, dari tadi gak ada kabar" Dia tak menggubris, melirik pun tidak. Dia hanya menunduk fokus pada segelas susu coklat di depannya.

    "Bagaimana kabar bapak, ibumu di rumah?"  dia menatap ku tajam. Seolah olah ada sesuatu ada di dalam dadanya.

    "Klutuk-klutuk" bunyi sendok yang berbenturan gelas. Dia hanya melihat dan mengaduk-aduk cokelat di depannya, tidak meminumnya sedari tadi.
--------------
    Aku mengajaknya bertemu ketika dia di Jogja. Jarang-jarang dia ke jogja setelah dia    kuliah di Surabaya. Dengar-dengar dia mau menghadiri saudara sepupunya yang menikah.

    "Nana keteman yuk"aku memberi pesan kepada dia lewat DM (direct menenger). 

    Satu dua jam aku melihat hp mengecek balasannya. Sayang hanya ada notifikasi grup whatsapp yang aku malas untuk membacanya. Aku masih menunggu dan menunggu. Berharap ada balasan darinya. Memang sudah lama kami tidak saling berkomunikasi. Aku hanya bisa melihatnya di dalam story instagramnya. Hanya sekedar tahu bagaimana kabarnya. Walaupun tanpa kata-kata, setidaknya dengan aku melihat wajahnya dalam dunia maya rasa rinduku bisa sedikit terobati.
Hari terus berganti. 

    Pagi menyongsong, mentari pagi menyapa seluruh penduduk bumi, mengingatkan untuk segera beraktivitas. Aku duduk di balkon rumah. Seperti biasa dengan secangkir teh hangat. Aku mengambil handphone masih penuh harap ada balasan dari Nana.

    "Yuks..." jawabnya singkat padat dan jelas. Akhirnya ada kabar baik juga datang.

    "Mau ketemu kapan? Dimana?" Lagi-lagi aku harus menunggu. Setidaknya ada harapan untuk melihat wajahnya langsung setelah sekian lama tidak bertatap muka.

    Sedikit yang tidak aku suka darinya, seperti tipe-tipe cewek yang aku baca di Instagram, Facebook, gambar meme juga. Intinya cewek itu kalau balas chat dari cowok lama banget. Cowok balas chat dari cewek hanya butuh sepersekian detik. Tapi kalau cewek, butuh beberapa menit bahkan beberapa jam untuk membalas chat dari cowok. Udah gitu singkat lagi. Walau itu tidak berlaku pada semua cewek.

    Tiga puluh lima menit dua belas detik kemudian hp berbunyi menandakan ada pesan masuk lewat Instagram.

    "Terserah mas deh, aku ngikut" Lumayan jawabannya agak panjang.

    "Ketemu di kafe aja yah. Entar jam dua siang" Harap-harap cemas.

    Dadaku berdegub kencang, pikiran sudah kemana-mana membayangkan wajahnya nan cantik menyapa dengan senyuman manisnya. Rasanya enam jam menuju pertemuan itu hatiku tidak bisa tenang, resah dan sudah tak sabar ingin bertemu. Tapi apa daya, waktu berjalan konstan tidak mau diajak bekerja sama.

    Jam masih menunjukkan jam delapan kurang tujuh menit. Tapi dia masih belum mengkonfirmasi apakah dia bisa  atau tidak. Lima menit menatap layar handphone menunggu penuh keresahan.

    "Ya..." masih seperti biasa, singkat, padat jelas dan tak perlu penjelasan lagi.

    "Huft". Akhirnya, aku bisa selebrasi di dalam hati.

    "Oke. Nanti jam dua di Kafe di lantai dua yah" balas ku.

    Tepat jam delapan pagi, aku duduk santai di balkon kamar ku. Aku menatap langit yang sudah semakin terang seakan-akan langit tahu apa isi hati ini.

    "Bremmmm..." Aku berpacu dengan waktu. Dengan mobil keluaran baru tak butuh waktu lama tuk berlenggak-lenggok di jalanan.

    Aku duduk di pojokan lantai dua. Sudah ada segelas coklat panas dan roti panggang keju di meja. Aku melihat jam di tangan kiri ku jarum panjang sudah menyentuh angka enam yang berarti sudah setengah jam lebih aku menunggu. Aku sudah terbiasa datang sepuluh menit lebih awal ketika ada acara. Aku sudah mencoba menghubunginya beberapa waktu lalu, tapi sama saja tidak ada balasan. Jarum panjang terus berputar tanpa ampun, terus bergerak dengan konstan, tidak melambat ataupun lebih cepat. Pukul tiga lewat dua belas menit aku masih memandangi hp yang masih belum ada kabar darinya.

    Aku berpikir dia sudah berubah banyak semenjak dia kuliah di Surabaya. Dulu dia sangat semangat jika aku mengajaknya bertemu. Dulu dia sangat cepat balas pesan-pesan dari ku. Dulu dia akan mengabari ku dengan segera jika dia tidak bisa hadir. Seperti ketika aku mengajak bertemu di hari sebelum aku berangkat pergi kunjungan. Handphone ku mati dan tidak bisa menghubungi nya. Tapi dia memberi pesan ke teman ku jika dia tidak bisa datang. Tepat beberapa jam sebelum jam yang di tentukan. 

    "Mas maaf aku gak bisa datang." setelah hampir dua jam menunggu. Seperti yang ku duga.

    "Oh iya gak apa-apa" walau di dalam hati tidak. Sesak pula. Sudah menunggu beberapa jam tapi akhirnya tidak datang juga.

    "Trus gimana ini? Kapan jadi ketemunya mumpung kamu lagi di Jogja?".

    "Besok malam aja gimana mas?"

    "Boleh-boleh. Mau dimana? Jam berapa?"

    "Jam delapan-an aja, di kafe deket rumah mu"

    "Oke, oke"

    Mungkin dia sudah tidak lagi mencintaiku. Mungkin dia sudah tidak lagi menyayangiku. Mungkin di dalam hatinya sudah tidak ada aku lagi. Walau di mulut seperti biasa. Tapi tidak dengan hati ini. Aku merasa aku telah di acuh kan. Serasa ada dan  tiadanya aku di samping dia tidak berarti apa apa. Sakit, hancur bagai di injak-injak dengan sepatu bergerigi. Bukan kali ini saja dia mengacuhkanku.Tapi sudah beberapa kali dia melakukan itu pada ku.

    Jam delapan kurang sepuluh menit aku sudah sampai di tempat yang sudah di janjikan. Aku memesan minum terlebih dahulu. Segelas cokelat panas sudah cukup untuk menemani malam yang sendu ini. Lima belas menit kemudian dia datang. Tidak seperti yang kuduga sebelumnya. Walaupun tidak seperti dulu, yang biasanya dua-tiga menit telat bahkan pernah juga dia yang datang lebih dulu.Dia duduk berhadapan dengan ku, sedikit tersenyum. Kami saling menatap satu sama lain. Tatapan tajam, tapi dia kalah.

    "Hey kau! Bagaimana kabarmu?kemana aja? dari tadi gak ada kabar" diam tanpa suara dan masih menundukkan pandangannya.

    Tanpa panjang lebar dan aku sudah muak dengan semua ini. Dengan semua yang telah dia lakukan padaku selama ini, yang ada tiadanya aku sudah tidak berarti lagi.

    "Nana, sebenarnya hubungan kita bagaimana sih? Aku merasa hubungan ini semakin tak jelas. 
Sebenarnya di matamu aku siapa sih?"

    Pesananya datang, segelas susu coklat panas. Sepertinya dia memiliki selera dengan ku. Menyukai minuman yang manis-manis. Pelayan berbaju putih itu memberikan cokelat panas itu dan menyodorkan kepada Nana sambil memberikan sedikit senyuman.

    "Hubungan apa mas?"

    "Lah, maksudnya. Status kita. Hubungan apalagi?"

    "Hubungan aku sama kamu kan sekedar teman. Aku sudah ada yang punya mas. Di sana. Di rumah." dengan ringannya dia berbicara seolah-olah tanpa ada beban. Meluncur begitu saja tanpa ampun dari sepasang bibir tipis itu.

    "Terus selama ini aku bukan apa-apa gitu, dengan kamu mengatakan cinta sayang seribu tahun lamanya, Apakah itu yang namanya teman,?"

    "Udah toh mas, itu sudah lalu.cobalah sedikit dewasa"

    "Kau tahu, dengan kau bertindak seperti itu ada hati yang terluka disini. Katanya kamu mau menjaga hatimu untuk aku. Walaupun kita hidup berbeda tempat ratusan kilometer. Kita akan tetap menjaga hati kita masing-masing" Aku menatap kedua bola matanya yang coklat sembari memegang dada sebelah kiriku. 

    Kau bohong. Kau sudah berjanji tapi kau juga yang mengingkariDia hanya terdiam. Aku terus menatapnya dengan tatapan serius. Dia hanya memainkan susu cokelat di depannya dengan sendok di tangannya. Dia menatap ku sebentar lalu menundukkan lagi pandangannya. Dia mengambil tas yang di letakkan di kursi sebelahnya dan pergi meninggalkanku tanpa berkata-kata bahkan hanya sekedar melirik saja tidak.

    Memang benar. Segelas cokelat panas dengan cahaya lampu kuning membuat suasana hati terasa syahdu. Hanya beberapa menit aku bertemu dia setelah sekian lama tanpa kabar. Tapi sekarang hanya menyisakan lubang di hati. Padahal yang aku inginkan adalah kabar baik.

    Tepat satu bulan yang lalu semenjak pertemuan itu aku masih belum bisa melupakan dia. Masih terkenang semuanya dalam hati. Walau kenangan-kenangan indah bersamanya telah berlalu beberapa tahun yang lalu. Inilah yang namanya cinta, walau tak ada cinta yang datang, cinta ini terus berkobar untuknya. Indah rasanya. Sirna sekarang. Tiada lagi kenangan baru bersama dia. Semuanya telah sirna.

    Hari-hari terus berlalu. Jarum panjang pun tetap keras kepala berputar dengan konstan tidak melambat maupun lebih cepat dari biasanya. Aku masih duduk di balkon rumah. Menikmati pagi dengan segelas teh hangat. Asap tipis mengebul menari-nari indah diatas hamparan larutan merah manis. Meja, kursi, pot bunga, wajah-wajah dalam bingkai, semuanya terdiam menatap ku. Sedangkan aku masih sibuk menatap si dia yang menari-nari.

    Tiga tahun sudah berlalu. Tapi kenangan itu masih melekat pada jiwa ini. Perasaan itu masih sama tidak berubah.

    "Mas... ketemuan yuk. Aku lagi di jogja ini." bagai hujan tanpa mendung, aku terima pesan masuk dari dia.

    Dada ini bedegub dengan kasarnya. Ada apa gerangan.Seperti mimpi di siang bolong. Orang yang ku cintai selama ini mengajak ketemuan. Cerita masa lalu itu seakan-akan sirna begitu saja. Bukankah itu hal yang wajar bagi seorang yang sedang di mabuk cinta.

    "Yuk,,, kapan? Dimana? Jam berapa?" jawab ku penuh dengan semangat.
 
    "Sekarang aja mas,, di kafe dekat rumah mu. Masih ada kan?"

    "Masih" jawab ku singkat, padat jelas hingga tak perlu penjelasan lagi untuk memahaminya.

    "Yaudah di sana aja, sekarang aku berangkat dri rumah bu de ku" sepertinya dia yang bersemangat dari pada aku kali ini.

    Kafe yang di maksud berjarak 160 meter dari rumah ku, jadi tak butuh waktu lama sampai di sana. Hanya beberapa putaran jarum panjang melewati angka dua belas. Tempat yang biasa aku dan nana melepas rindu dan bertukar kasih sayang.

    Sudah ada segelas cokelat hangat di depan ku. Minuman favorit yang tak tergantikan. Yang membuat lidah terasa meleleh. Sensasi yang tiada duanya. Apalagi cokelat yang di gunakan adalah dark chocolate. Tambah membuat lidar siapapun meleleh. Beberapa menit kemudian dia datang. Melihatnya menggunakan pakaian warna cokelat muda, warna favoritnya. Dia terlihat cantik dan menawan di mataku. Tak berubah seperti sedia kala. 

    "Mas, maaf kan aku yang dulu. Aku sudah membuat hati mas terluka. Maaf ya mas" sambil menatap ku indah.

    "Iya gak apa apa. Udahlah yang lalu biarkan berlalu. Toh masa lalu tidak bisa di ubah. Dia akan tetap ada dan tetap tak bisa tergerus oleh waktu"

    "Bagaimana kabar bapak, ibumu, adik-adik kamu di rumah?"

    "Baik. Mas gimana?"

    "Alhamdulillah, sehat wal afiat. Ibu, bapak kakak ku semuanya juga baik."

    Dilihat dari raut mukanya. Aku yakin ada sesuatu yang ingin dia katakan. 

    "Ada apa? Udah ngomong aja."

    "Mas aku mau minta maaf"

    "Iya, sudah ku bilang dari tadi kok"

    "Mas aku pengin kita jadi kayak dulu lagi" berkata dengan malu-malu.

    "Kayak dulu yang bagaimana?" aku masih bingun dengan semua ini. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang dia maksud, tapi aku ingin dia berkata dengan jelas supaya tidak ada kerguan lagi di dalam hatiku.

    "Kayak dulu mas. Saling tanya kabar. Sudah makan belum? Sudah sholat belum? Saling memberi perhatian. Pokoknya kayak dulu lagi lah"

    Jin apa yang sudah merasuki jiwanya hingga berkata seperti itu. Aku yang dulu menganggapnya bagaikan si cebol yang mengharapkan bulan. Sekarang apa yang aku harapkan tiga tahun lalu benar-benar terjadi. Berharap ada sapaan di tiap paginya, selalu ada senyum riang nya yang menyejukkan hati, selalu ada kejutan-kejutan yang benar benar aku inginkan dulu. Indah. Indah. Indah. Bayangan di pikiran ku dulu. Tapi, itu dulu. Sekarang waktu sudah merubah semuanya.

    "Maaf Nana. Aku tidak bias. Maaf sekali aku tidak bisa, tidak bisa seperti yang kau harapkan itu. Cukup kita sekedar teman saja atau sahabat juga boleh. Yang penting tidak saling bermusuhan dan putus komunikasi"

    Dia tertegun dengan jawaban yang aku berikan. Dia diam lagi seperti waktu itu. Diam mulutnya. Tangannya tidak. Tangannya memegang sedotan dan mengaduk-aduk cokelat yang sudah tidak panas lagi di depannya.

    "Kenapa mas?"

    "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin sendiri. Ingin bebas dan merdeka dari urusan hati"

    Aku berkata demikian karena aku tak mau menyakitinya. Bukannya aku tidak mau dengan dia. Dia sudah masuk tipe cewek idaman ku. Dia pintar, kaya raya, cantik, wanita yang energik. Tapi aku lebih memilih Rahma dia yang sederhana dan pengetahuan tentang agamanya jauh lebih dalam dari pada Nana. Walau bukan orang kaya atau secantik dia. Biarlah. Aku ingin menikahi wanita karena agamanya, bukan karena hartanya, kecantikannya ataupun nasabnya.

    Aku pertama kali melihat Rahma atau lebih tepatnya mendengar suaranya ketika acara pernikahan sepupuku. Aku mendengar lantunan ayat-ayat suci yang indah mendayu-dayu. Membuat hati ini serasa ada yang mengetuk. Aku mencari-cari dimana suara itu berasal. Aku melihat dia duduk dengan bersimpuh di panggung. Bertanya-tanya siapakah wanita yang membaca ayat-ayat suci tadi. Dia terlihat mempesona. Menggunakan hijab berwarna merah muda. Warna yang pas dengan kulit putihnya. Pada akhirnya dia adalah anak seorang ustadz. Rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah sepupuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar