Minggu, 14 Maret 2021

KASIH TERHALANG HITUNGAN NAMA

 


                                                            Oleh : Rohimul Hadi AR

             “Lihat!!! pasangan pengantin itu sangat menawan. Kebaya yang dikenakannya sangat cocok sekali dengan Ajeng. Aku kira, Semua orang berpikiran sama denganku. Iya kan?” ujar Fani.

“Aku setuju dengan apa yang kamu katakan. Sampai aku iri dengan Ajeng. Suaminya ganteng dan postur tubuhnya idaman banget pokoknya. Tidak rugi dia memilihnya sebagai pasangan hidup” Asih sependapat dengan Fani.

Gamelan berdendang mengiringi ritual yang sangat sakral. Prosesi pernikahan menyatukan dua insan menjadi satu, menyatukan dua keluarga menjadi satu dan menjadikan satu kesatuan baru. Suara merdu sinden turut membuat prosesi menjadi khusuk.  Dua pasang pengantin duduk di pelaminan dengan pakaian adat jawa. Mereka menebar senyum indah yang membuat orang terpesona. Pasangan yang serasi.

***

“Kamu gak pake sayur lagi makannya? Pokoknya kamu harus makan sayur walaupun sedikit. Kan kasian nanti perutmu. Aku gak mau lagi kamu sakit. Aku gak mau lagi kamu tidak masuk kerja. Nanti aku sedih” pinta Ajeng sambil mengambil sayur dari piringnya.

“Uluh-Uluh perhatiannya orang paling resek sedunia ini.  Aku gak suka sayur sayang. Sedikit saja yah” Gilang menawar.

“Tidak bisa !!! pokok nya kamu harus habiskan” Ajeng menambahkan sayur ke piring Gilang hingga sayur di piringnya sendiri habis.

“Loh Sayang, kamu juga harus makan sayur juga. Kalo aku saja yang makan sayur, kamu nanti sakit juga loh.”

“Sudah, pokoknya kamu habiskan makanan di piringmu. Aku bisa pesan sayur lagi.”

Perdebatan kali ini dimenangkan oleh Ajeng. Gilang dengan terpaksa menghabiskan makanan di piringnya walaupun sayur yang diberikan Ajeng hanya sedikit yang tersentuh. Mereka berdua damai dalam meja kantin. Makan siang telah usai. Waktunya kembali ke pekerjaan masing-masing.

Ajeng bekerja di bagian marketing sedangkan Gilang menjadi kepala bagian Public Relation  di salah satu perusahaan terknologi ternama. Mereka memiliki tempat yang terpisah oleh sekat kaca. Ajeng sering curi-curi pandang ke Gilang di balik sekat kaca. Pertemuan pertama mereka dimulai ketika rapat para kepala bagian dua tahun lalu. Ajeng yang merupakan karyawan baru kala itu, diharuskan melakukan presentase penjualan menggantikan kepala marketing yang sedang cuti. Ajeng mempresentasikan dengan luwes dan sangat mudah difahami. Hal itu membuat Gilang tertarik dengan caranya menyuguhkan materi. Setelah presentasi hari itu Gilang langsung menghampiri Ajeng dan mengobrol bersama.

Dengan berjalannya waktu, hubungan mereka berdua semakin dekat.

“Fan, tanya dong. Gimana caranya mengatasi orang yang gak suka makan sayur. Kamu tahu sendirikan seberapa pentingnya makan sayur. Bagaimana bisa seseorang  hidup tanpa sayuran” chat Ajeng kepada Fani sepulang kerja.

“Gimana yah. Agak susah sih kalo membujuk orang untuk menyukai apa yang tidak disukai” balas Fani.

“Ya gimana dong. Aku gak mau kan dia sakit lagi. Emang susah, buat Gilang makan sayur. Bandel pokoknya kalo suruh makan sayur. Untung waktu itu dokter Arya kenalan bapak bisa dihubungi mendadak. Jadi ketolong tuh si manja yang gak doyan sayur”

Waktu itu Gilang sakit perut yang luar biasa. Tidak bukan karena kebiasaan Gilang yang tidak suka dengan sayur. Akibatnya proses pencernaan Gilang tidak bisa berjalan dengan baik. Gilang sudah lima hari tidak bisa buang air besar. Bayangkan sudah berapa banyak makanan yang tersumbat di perutnya.

Arya yang memiliki salah satu klinik di dekat rumah Ajeng sedang libur, jadi bisa dihubungi dengan telepon. Arya memiliki hubungan baik dengan keluarga Ajeng. Jika ada yang perlu dikonsultasikan tentang kesehatan, tidak perlu datang ke tempat prakteknya. Beruntung keadaan Gilang bisa diselamatkan berkat resep obat yang diberikan oleh Arya.

“Aku punya ide, Ajeng. Gimana kalo suruh dia makan buah saja. Buah juga punya manfaat yang mirip-mirip dengan sayur. Atau yang lebih kekinian kamu kasih minum jus. Mungkin dia lebih suka”

“Oke, besok aku coba”

Hari semakin larut. Mentari turun dari langit, bulan memanjat naik mengantikan mentari. Cerita hari ini baru dimulai.

Keesokan harinya pada jam makan siang. Waktu yang sama, dan tempat duduk yang sama. Seolah-olah meja itu sudah menjadi miliknya. Terletak sebelah jendela berhadapan dengan pemandangan kota yang super padat. Kantin itu terletak di lantai tiga.     

“Sayang, Aku bawain jus mangga. Kamu minum, Yah!.  Aku khawatir sama kamu. Coba pikir, kapan terakhir kali kamu makan sayur?” Ajeng menyodorkan Jus yang baru diambil dari kulkas yang ada di kantor. Ajeng membuatnya sendiri sebelum berangkat.

“Sebenernya aku tidak suka buah mangga. Aku sudah bilang kalo lidahku sangat sensitif. Aku gak bisa makan yang rasanya asam”

“Mana ada mangga rasanya asam, kalo mangga muda baru rasanya asam. Jus mangga manis kok, udah ada tambahan susunya juga. Yakin dah kamu pasti suka” tutur Ajeng sambil menepuk bahu Gilang.

“Oke, nanti aku minum jus mangganya. Jadi kamu tidak harus menambahkan sayur di piringku, yah” Gilang mengantisipasi kebiasaan Ajeng menaruh sayur di piring makan siangnya walaupun tidak selalu dimakan oleh Gilang.

“Omong-omong libur panjang besok, Sayang ada rencana pulang tidak?” tanya Gilang.

“Ya, pulang dong. Ketemu keluarga di rumah. Kenapa kamu tanya begitu ? Kan kamu sudah tahu kalo ada waktu luang aku pasti pulang. Bapak sama Ibu pasti rindu kalau anak kesayangannya tidak pulang”

“Aku mau ikut ke rumah mu, Sayang. Mau ketemu langsung sama orang tua mu. Masak gak boleh kalo mau ketemu sama calon mertua” ucap Gilang.

“Boleh sih, tapi gimana yah. Bapak ku itu galak banget loh” Ucap Ajeng beralasan bahwa Ajeng masih belum siap.

“Kalo masalah galak-menggalak aku berani. Jangankan Ayah mu yang galak, Bos kita orang yang paling galak sekantor pun aku tidak takut. Jadi, tidak usah khawatir. Aku bisa mengatasinya dan siap menerima sikapnya” Gilang menepukkan tangan kanan di dadanya. Sangat optimis bisa menghadapi kegalakan Bapaknya Ajeng.

Libur panjang tiba. Dua tanggal merah di hari Selasa dan Rabu menjadikan hari Senin hari kejepit. Bos yang memiliki watak keras dan galak berbaik hati pada karyawannya untuk meliburkan hari Senin. “Hari terjepit” Si Bos bilang.

Perjalanan enam jam dari pusat kota menuju rumah Ajeng bukanlah hal berat. Apalagi sudah ada jalan bebas hambatan yang sudah diresmikan tahun lalu. Akses antar kota semakin mudah. Biasanya Ajeng pulang pergi menggunakan kereta. Karena liburan kali ini bersama Gilang, Ajeng bisa lebih santai lagi diperjalanan dengan mobil milik Gilang.

Gilang sudah tidak sabar lagi. Di usianya yang sudah tahu makna hubungan antara laki-laki dan perempuan bukanlah untuk main-main. Keputusan untuk bertemu dengan Bapaknya Ajeng adalah keputusan yang tepat menurutnya. Jika menunggu waktu libur panjang membutuhkan beberapa bulan lagi. Hubungan yang ia jalani bersama Ajeng sudah menginjak setahun lebih. Waktu yang sudah cukup untuk memperkenalkan diri ke orang tua Ajeng. Keputusan sudah bulat untuk bersama Ajeng untuk waktu yang lama.

Mobil merah itu berhenti di halaman rumah Ajeng. Ajeng sudah memperkenalkan Gilang ke Ibunya, tidak dengan Bapaknya. Ibu sudah bercerita banyak tentang hubungan Ajeng dan Gilang ke Bapak. Ajeng tidak terlalu dekat dengan Bapak.

“Pak, Perkenalkan nama saya Gilang Sanjaya, Pacarnya Ajeng” dengan mantap Gilang memperkenalkan diri. Bapak dan Ibunya turut duduk di ruang tamu yang berdekorasi kejawen. Ajeng duduk di sebelah Ibunya setelah memberikan minuman yang dibuatnya pada Gilang dan orang tuanya.

“Oke, coba bapak pengin tahu nama lengkap kamu siapa? Tanggal lahir kamu berapa? dan kamu anak ke berapa?” tanya Bapaknya Ajeng. Tiga pertanyaan yang menentukan kelanjutan hubungan antara keduanya. Ajeng sebenarnya sudah tahu akan jawaban yang akan diutarakan oleh Bapaknya. Ibunya sudah bercerita dari telpon beberapa waktu lalu.

“Nama saya Gilang Sanjaya, Pak. Tanggal lahir saya 15 April 1995, dan saya anak pertama dari tiga bersaudara” Gilang menjawab yakin. Pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab. Ajeng takut tidak kuat melihat reaksi Gilang mendengar pernyataan Bapak. Ia meninggalkan ruang tamu. Ibunya menoleh cepat kepada Ajeng, lalu mengikutinya. Ibu sudah tahu apa yang akan dirasakan oleh Ajeng. Inilah yang membuat Ajeng belum siap untuk mengenalkan Gilang ke Bapak. Ajeng sudah tahu. 

“Sudah berapa lama kamu pacaran dengan anak saya, Gilang?” Bapaknya Ajeng bertanya hanya untuk memastikan. Seluk beluk tentang Gilang sudah diketahuinya berdasarkan cerita Istrinya.

“Sudah setahun lebih, tepatnya empat belas bulan lebih lima hari” Hari dimana Gilang memberanikan diri mengungkapkan perasaannya pada Ajeng di sebuah kafe.

“Gilang, kamu sama anak saya mau tetap berpacaran atau mau sampai menikah?”

“Sudah tentu tujuan saya ke rumah bapak untuk bersilaturahmi dan saling mengenal. Tidak lain-tidak bukan pasti tujuan saya kedepannya bisa ke jenjang berikutnya” jawab Gilang yakin.

“Gilang, coba kamu perhatikan isi ruangan ini. kamu tahu kan kenapa ruangan ini seperti ini?” tanya Bapaknya Ajeng. Gilang yang belum sempat memperhatikan seisi ruangan karena sewaktu sampai di rumah Ajeng langsung dipersilahkan masuk dan langsung bertemu dengan bapaknya Ajeng di ruang tamu. Karena sifat keberaniannya ia hanya fokus pada seorang lelaki tua yang berhadapan dengannya. Sifat keberaniannya terhadap bos super galak di kantor terbawa ke rumah calon mertuanya.

Gilang memperhatikan sekitar dengan sangat seksama. Tiap sudut tak terlewat dari matanya. Ia paling lihai dalam memainkan pandangan.

Foto lelaki dengan blankon dan keris tersampir terpampang besar sebagai background yang sangat mencolok. Di sebelahnya ada foto pernikahan dan foto-foto orang-orang yang tidak dikenalnya. Ajeng sudah memperkenalkan semua anggota keluarganya ke Gilang. Tapi Gilang tidak tahu siapa orang yang ada di foto-foto itu.

Kursi yang digunakan di ruang tamu terbuat dari kayu jati tua. Orang yang ahli dalam bidang perkayuan pasti tahu umur dari kursi itu sudah lebih dari seratus tahun, begitu juga dengan meja dan perabotan lainnya.

Lampu-lampu  berwarna kuning juga turut menjadi penghias dan sebagai penerang di ruangan itu. Ruangan atas jawaban hubungan Gilang dan Ajeng selanjutnya. Kini keberaniannya mulai terkikis. Tak diperhatikan sebelumnya. Ia baru sadar setelah lima belas menit di dalam rumah itu. Bapaknya Ajeng bukanlah orang biasa. Foto lelaki yang terpampang besar ruangan itu adalah foto kakeknya Ajeng.

“Gilang, Bapak mohon maaf. Keluarga saya sangat menjunjung tinggi adat jawa. Leluhur saya adalah orang jawa. Bisa dilihat cerminan adat jawa saya dalam ruangan ini. Begitu juga dengan perjodohan. Ini juga demi kebaikan anak kesayangan saya, Ajeng”

“Maksudnya bagaimana ya, Pak? Aku belum faham apa yang Bapak maksud” ujar Gilang pada seorang bapak-bapak di hadapannya. Ruangan semakin mencekam dengan suasana lampu kuning yang menerangi.

“Sebelumnya, Bapak mohon Gilang mau menerima pernyataan yang akan Bapak utarakan”

Gilang mengangguk meng-iyakan. Kedua tangannya memegang lututnya tidak sabar mau mendengar apa yang akan dikatakan Bapaknya Ajeng.

“Aku tidak setuju hubungan mu dengan Ajeng” ujar seorang bapak-bapak di hadapannya. Singkat, padat, jelas dan menusuk. Gilang diam mematung. Ibunya menenangkan Ajeng di kamar. Tahu jika Ajeng akan sangat terpuruk. Rencana terburuk mengiyakan Gilang datang ke rumah. Lebih baik hal ini tidak terjadi jika itu akan membuatnya sakit hati.

Inilah ketidaksiapan Ajeng mengijinkan Gilang untuk menghadap orang tuanya. Dari cerita Ibunya beberapa waktu lalu. Gilang bukan merupakan jodoh yang paling baik untuk Ajeng.

“Pertama, kamu dan anak saya hanya berbeda satu tahun. Itu merupakan hal yang membuat hidupmu akan tidak mesra di waktu yang akan datang. Kamu sudah mengerti. Tingkat kedewasaan perempuan lebih cepat dari pada seorang lelaki. Pada waktu yang akan datang, dalam hubungan rumah tangga mu. Kamu akan disetir oleh Ajeng. Kamu tahu, itu akan membuat hidup seorang lelaki akan hilang kewibawaannya” ucap seorang bapak-bapak bertubuh gempal dengan kumis tebal. Gilang terdiam mendengarkan dengan seksama. Kedua tangannya masih memegang lututnya.

“Kedua, dari hitungan tanggal lahir. Hidup mu dengan Ajeng akan tidak tentram, banyak pertengkaran, dan tidak harmonis. Tentunya pertengkaran itu akan membawa pada perceraian bahkan perselingkuhan”

Gilang masih tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.  Tidak mungkin hanya karena tanggal lahir, nasib seseorang bisa diketahui. Hanya bualan belaka.

“Saya tidak percaya hal seperti itu Pak. Saya pasti bisa mengarungi bahtera rumah tangga bersama Ajeng. Saya punya lebih dari cukup kekayaan untuk menghidupi”

Sebagai kepala bagian Public Relation pada perusahaan teknologi ternama sudah lebih dari cukup. Rumah dan mobil sudah dimilikinya. Tidak hanya ketampanannya. Bagi Ajeng ini adalah keputusan yang sangat berat. Ia harus rela meninggalkan seorang lelaki mapan yang mencintainya. Ajeng masih belum siap.

“Gilang, kunci kebahagiaan rumah tangga bukan hanya karena harta kekayaan. Lebih utama lagi kepribadian masing-masing. Karakter seorang perempuan dan seorang laki-laki harus cocok. Dua hal yang perlu kamu perhatikan dari namamu. Kamu tidak memiliki komitmen dan kehidupanmu boros”

Benar apa yang dikatakan seorang bapak-bapak dihadapannya. Ketika Gilang menemui Ajeng ketika selesai presentasi rapat bersama pimpinan kala itu. itu dilakukan oleh Gilang karena ia memperoleh protes keras dari para kepala bagian yang lain dan terutama bos yang super galak mendengarkan. Pada rapat sebelumnya Gilang menawarkan idenya yang dianggap cemerlang, akan tetapi pada rapat bulan itu. Gilang menawarkan hal yang berbeda. Hal ini mempengaruhi hubungan perusahaan dengan distributor perusahaan teknologi ternama tempat ia bekerja.

Walau dikatakan Gilang dikatakan sukses di usia muda. Itu berkat kegigihan sifatnya dan mau terus berjuang, ia tidak mampu membentengi nafsunya. Kehidupannya yang terlalu glamor, membeli pakaian, jam tangan dan modifikasi mobil membuat hartanya tidak terorganisir dengan baik. Gilang orang yang sangat boros.

“Ketiga, dalam adat saya. Sungguh pamali jika anak pertama menikah dengan anak ketiga. Kamu sudah tau sendiri jika Ajeng adalah anak saya nomor tiga. Pernikahan anak pertama dan anak ketiga akan mendatangkan pertengkaran. Satu masalah selesai, satu masalah lain datang. Kamu juga akan kehilangan banyak hartamu akibat pernikahan jenis ini, selain karena hidup mu yang boros. Terakhir, salah satu dari kalian akan meninggal terlebih dahulu jika hubungan ini akan dilanjutkan ke jenjang pernikahan”  Ucap lagi dari seorang bapak-bapak dihadapan Gilang.

Kali ini gilang setuju dengan apa yang dikatakannya. Hanya dengan mengartikan namanya Gilang merasa benar apa yang dikatakan Bapaknya Ajeng. Dia benar jika Gilang adalah orang yang kurang dalam berkomitmen dan juga yang sangat menyentuh dirinya ketika Bapaknya Ajeng berkata tentang sikap borosnya. Orang yang dihadapannya memang orang hebat.

“Kamu sudah tahu kan mengapa Bapak tidak menyetujui hubunganmu dengan anak saya. Bukan hanya tentang kebaikan anak saya, ini juga tentang kebaikanmu” Lelaki dihadapan Gilang berkata meredakan.

Setelah beberapa lama mengobrol dengan Bapaknya Ajeng. Gilang meninggalkan rumah Ajeng tanpa pamit dengan Ajeng. Ajeng tidak mau keluar dari kamarnya. Bapak dan Ibunya Ajeng melepas kepergian Gilang. Mobil merah nya keluar dari halaman rumah dan melaju menuju pintu jalan bebas hambatan terdekat. Perjalanan pulangnya kurang dari enam jam seperti perjalanan menuju rumah Ajeng. Mobil hasil modifikasinya membuat jalanan bebas hambatan seperti lintasan balap. Gas diinjak penuh, meliuk-liuk menyalip kendaran yang di depannya. Gilang sedang patah hati.

Ajeng murung dikamarnya setelah kepergian Gilang. Hingga tiba hari kamis untuk kembali bekerja, ia tetap merenung dikamarnya. Masih tidak rela harus meninggalkan Gilang. Rencana paling buruk mengiyakan Gilang ikut ke rumah.

“Ajeng, ayo dong dimakan makanannya. Kamu dari kemarin-kemarin tidak banyak makan. Tidak baik untuk kesehatanmu” Ibunya menyodorkan makanan kesokaannya. Ajeng masih tetap diam meringkuk dalam selimut. Kebiasaan waktu ia pulang ke rumah, adalah wajib untuk dibuatkan makanan kesukaannya. Makanan wajib ketika pulang, tapi kali ini tidak mempan.

“Kamu mau makan apa, Nak?” tanya ibunya, ”supaya kamu mau makan” Ibunya meletakkan makanan kesukaan Ajeng di meja kamarnya.

Ajeng bangkit dan duduk di bawah jendela besar sebelah dipannya. Di bawah gorden putih ia menatap keluar. Selimut tebalnya masih melingkupi tubuhnya. Ibunya naik ke dipan, merangkul anak perempuan kesayangannya.

                Ibunya menyentuh dahi Ajeng. Terasa lebih panas dari biasanya. Kemudian tangan lembutnya menyentuh pipi Ajeng. Ajeng sedang sakit.

                “Pak...!!! Pak...!!!” teriak Ibu dari kamar. Bapak datang tidak lama setelah ibu berteriak memanggil.

                “Pak Panggilkan Arya. Badan Ajeng Panas. Cepet, Pak...!!!” suruh Ibu segera.

                Jarak yang tidak terlalu jauh antara klinik Arya dan rumah. Tidak sampai sepuluh menit Arya sampai. Klinik dititipkan pada asistennya. Klinik tidak sedang ramai. Jadi tidak masalah ditinggal sementara.

                Arya berusia sekitar tiga tahun lebih tua dari Gilang. Umurnya Menginjak hampir tiga puluh tahun. Arya menjalankan klinik milik Bapaknya yang juga dokter juga. Bapak dari Arya merupakan sabahat karib dengan Bapaknya Ajeng. Jadi tidak sungkan jika mereka saling membantu. Bahkan tidak pernah mau menerima uang dari keluarga Ajeng ketika berobat di kliniknya walaupun sudah dipaksa. Mereka adalah teman sedari masih sekolah dasar.

                “Ajeng kurang nutrisi, Bu. Tapi kondisinya tidak perlu dikhawatirkan jika ia mau makan dan minum vitamin setelah ini” ujar Arya.

“Dia harus makan, dan minum vitamin dan buah-buahan. Setelah ini saya bawakan vitaminnya” Ibu dan Bapaknya duduk  kursi yang ada di kamar itu. Arya menenangkan.

Arya sudah mengetahui sebab mengapa Ajeng seperti itu. Ibu sudah bercerita sebelumnya. Lebih tepatnya konsultasi mengenai kondisi Ajeng yang tidak mau makan. Mau makan pun hanya sedikit, hanya beberapa suap.

Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Ajeng membaik. Ajeng mendapat telepon dari Bos super galak di kantor. Isi dari pembicaraannya mengenai karirnya di perusahaan. Bos super galak itu memberi peringatan jika ia tidak kembali ke perusahaan dia akan dipecat. Gilang sudah memberi keterangan kepada Bos jika Ajeng sedang tidak sehat. Alasan itu tidak bisa diterima oleh Bos. Ajeng tidak memberitahukan sendiri kondisinya. Statusnya dia membolos dari kantor. Membolos tiga hari berurut-urut sudah selayaknya mendapat peringatan keras dari Bos. “Kembali sekarang, atau kamu saya pecat” Ujar Si Bos yang paling galak.

Ajeng tidak mau mengulang kenangannya. Ia tidak mau merusak hatinya. Hatinya terlalu rapuh untuk bertemu Gilang. Ia tidak mau menangis di kantor.

Keputusan berat Ajeng telah ditentukan. Ia memilih mengundurkan diri dari perusahaan daripada harus bekerja dengan bayang-bayang perasaan dengan Gilang. Perasaan yang akan membuatnya sakit. Hubungan cinta yang tidak direstui, tidak akan mungkin untuk dilanjutkan. Ajeng tidak mau melawan orang tua, terutama Bapaknya.

Beberapa bulan setelah kepergian Gilang dari rumah.

“Ajeng, kamu sangat cocok dengan Arya. Pertama mungkin kamu akan tidak suka. Pasti dalam waktu yang akan datang, kamu tidak bisa lepas darinya” Ujar seorang lelaki yang ada di foto dinding ruang tamu.  Sebenarnya, Ajeng sudah dijodohkan oleh Bapak dengan Arya. Ajeng tidak mau menerima perjodohan  yang diberikan. Ajeng tidak suka dengan Arya karena pada mulanya Ajeng tidak suka dengan lelaki yang terlampau agak jauh lebih tua. Ajeng suka lelaki yang berumur tidak jauh dengan dirinya. Dia pikir akan lebih mudah dengan lelaki yang seperti itu.

“Manut saja sama Bapak. Kamu pasti bahagia. Ingat kamu dengan Gilang tidak memiliki sifat yang sesuai. Kamu dan Gilang akan mendapat banyak masalah di akhir hubungan kalian. Bapak tahu itu keputusan yang berat, tapi Bapak juga tidak ingin kamu menderita nantinya. Dengan kamu hidup bersama dengan Arya, Bapak jamin kamu akan hidup bahagia”

“Kamu mengertikan bagaimana adat keluarga kita. Bapak sudah hitung, bibit, bebet, dan bobotnya. Tidak hanya itu, hitungan nama, tanggal dan weton nya semua sudah baik. Bapak yakin kamu pasti bahagia”

Ajeng kali ini menurut dengan perkataan Bapaknya. Menurut pengalaman Ajeng melihat perjodohan yang dilakukan Bapaknya. Ia yakin akan perkataan Bapaknya. Keluarga Ajeng merupakan keluarga terpandang di daerahnya. Foto yang terpampang lebar di ruang tamu rumahnya merupakan tokoh paling disegani. Sikap dan sifat orang yang ada di foto itu menurun pada anaknya. Oleh sebab itu, Bapak sering dimintai tolong untuk menghitung apakah seorang pasangan akan berhasil atau tidak. Yang menerima perkataan Bapak maka ia beruntung, yang tidak menerima perkataan Bapak maka akan terjadi seperti apa yang dikatakan.

Hari yang dimaksud datang. Hari kegembiraan. Acara sakral mempersatukan dua insan, dua keluarga. Kini Ajeng dan Arya resmi menjadi satu kesatuan keluarga.

Gamelan berbedang dengan lantang. Sinden mengiringi dengan lantunan tembang yang indah. Para tamu berdatangan. Bersiap melihat sepasang pengantin jawa. Semua sudah tidak sabar. Ketika pasangan pengantin keluar dari balik tirai semua mata tertuju pada pengantin. Ajeng menggandeng tangan Arya dan berjalan perlahan mengikuti suara gamelan. Mereka duduk di pelaminan. Bergandeng tangan mesra. Keluarga bahagia segera terbentuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar