Minggu, 18 Desember 2022

Aku, Bukan Seperti Awan

 


 Rohimul Hadi AR

Aku memulai cerita ini dengan sebuah sore. Sore ini, mentari tidak terlihat turun. Tidak seperti biasanya. Memang akhir-akhir ini awan sering bebal. Beberapa kali aku mengumpat “mengapa ia selalu disana?”  Aku ingin sebuah sore. Suasana oranye di langit. Aku ingin menyatu dengan sore hingga aku lupa bahwa aku sedang di dunia nyata. 

Percuma saja, awan tidak akan mendengar. Dia tidak punya telinga. Dia juga tidak punya hati hingga tidak mau memahami apa yang aku inginkan. Dia bisu dan bebal. Aku sangat membencinya.

Aku duduk dengan laptop menyala di depan ku. Tidak ada senja yang orang-orang inginkan. Yang ada hanya mendung. Sepertinya akan segera hujan. Udara yang berhembus terasa dingin menerpa kulit. Tanda musim senja sedang berganti dengan musim hujan. 

Aku kira awan tidak punya hati hingga tidak paham apa yang aku inginkan. Awan sedang menangis. Ternyata, aku yang tidak punya hati. Aku terlalu egois, hingga awan harus memahamiku sedang aku tidak memahami nya. Walaupun aku egois, tapi aku perasa. Aku mampu merasakan segala isi hati yang tercurah dalam tingkah laku. Tidak hanya manusia, hewan, kucing, awan pun aku tahu apa yang ia rasakan. “Awan aku tahu kenapa kamu menangis. Kamu sudah terlalu lama memendam masalah mu sendiri. Walaupun kamu tinggi dan berwibawa. Kamu juga punya rasa yang tidak dapat kamu pendam sendiri. Menangislah ! menangislah ! tidak ada yang salah menangis. Dengan begitu, kamu akan lega, ringan dan riang. Teruslah menangis hingga air matamu habis”.

Aku pikir, bagaimana caranya untuk membuat hujan berhenti. Tidak ada acara lain selain menunggu. Jikalau orang mampu memindah awan yang sedang menangis. Itu bukan kehendaknya, melainkan awan sendiri yang ingin pergi, karena benci. Awan tahu, jika ada orang yang tidak mau mengerti perasaannya. Ia akan pergi tanpa disuruh. Buat apa awan menangis pada orang yang tidak mau ditangisi. Awan juga perasa, sama seperti aku. 

Hanya masalah waktu, musim senja akan datang. Hanya masalah waktu, awan akan berhenti menangis dan air matanya habis. Aku sabar. Tidak apa menunggu. Toh aku masih duduk di tempat yang sama, di bawah atap genting, lampu kuning remang-remang dan segelas cokelat panas. Tidak masalah tidak ada senja hari ini. Suasana ini sudah hampir sama dengan yang aku inginkan. Suara tangis awan juga tidak terlalu mengganggu. Aku bisa melupakan dunia sejenak di depan laptopku.

Aku sedang berdiri di ujung tebing. Aku tahu persis tempat ini. Orang-orang menyebutnya Starsnatch Cliff. Tempat yang sangat indah. Tebing yang sangat tinggi. Ujung tebing melancip menghadap barat. Tepat dimana mentari biasa turun. Sepanjang mata memandang hanyalah Samudra yang sangat luas. Hanya birunya laut dan birunya langit yang terlihat. Tidak ada awan di sana. Tebing dimana aku sedang berdiri ini sangat tinggi sekali. Mungkin butuh beberapa detik jika aku melempar batu dari atas sini hingga sampai ke dasar. Yang jelas sangat tinggi. Hempasan ombak Samudra saja tidak terlihat dari atas sini.

Aku masih berdiri disini. Angin bertiup dengan ringan. Hangat menembus kulit. Rerumputan berwarna oranye. Tidak ada pepohonan yang menghalangi arah pandang. Tempat yang sempurna untuk sendiri. Aku melangkahkan kaki ku menuju tebing paling ujung kemudian aku duduk. Kaki ku bisa ku ayun-ayunkan. Bagi orang yang memiliki fobia ketinggian sudah pasti sangat ketakutan. Seolah-olah tubuhnya tertarik untuk jatuh. 

Entah mengapa aku merasakan suatu kehampaan dalam hidup ini. Tidak tahu apa yang sebenarnya harus dikejar. Sudah lama sekali pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Sampai sekarang aku masih tidak tahu apa jawabannya. Petanyaan yang paling menggalnjal yaitu apa yang harus aku perjuangkan. Apa yang layak diperjuangkan hingga aku bisa menikmati rasanya berjuang. Hidup ini hampa jika tidak memiliki tujuan. Tapi, aku sudah lelah sekali. Beberapa waktu lalu aku sudah berjuang. Berjuang sangat lama sekali. Bisa dikatakan selama hampir empat tahun aku berjuang. Dan aku menikmatinya. Menikmati rasa lelah, letih dan capek. Tapi, perjuangan itu tidak terbafyarkan. Sekarang aku hampa.

Angin bergerak semakin keras. Tidak lagi sepoi-sepoi. Kali ini angin bergerak semakin kencang. Baju ku berkibar-kibar. Suaranya berisik di telingaku. Aku melihat ke atas. Terlihat puncak ujung Starsnatch Cliff lengkap dengan rerumputan oranye dan langit birunya. “Bukannya aku tadi duduk di sana mengayun-ayunkan kaki dan menikmati pemandangan langit biru?”. Aku melihat ke bawah. Kaki ku sudah tidak menapak lagi pada tanah. Aku juga sudah tidak lagi duduk di ujung Starsnatch Cliff. Aku terjatuh di tengah kehampaan. 

Waktu berjalan seperti melambat. Aku tidak bertenaga. Tubuhku menghadap ke atas. Suara angin di telinga juga tidak terdengar. Terlintas bayang-bayang cerita masa lalu. Kisah-kisah tentang canda dan tawa. Ketika dua manusia bersama-sama berbagi cerita, saling membutuhkan dan menghargai. Lantas aku sedikit tersenyum ketika cerita-cerita itu terlintas. Kisah-kisah itu kemudian menghilang dengan samar-samar. Awan putih muncul menutupi tergantikan awan hitam  kelam. Awan-awan bergemuruh, kemudian secercak cahaya muncul dari baliknya.

Terlihat samar-samar seorang terduduk di pinggir danau. Dia sedang memegang segelas kopi. Beberapa orang berlalu-lalang melewatinya. Tidak terlihat jelas muka semua orang yang ada di sana. Sejenak aku teringat. Itu adalah kisah di mana aku merenung. Melepaskan penat setelah menjalani beratnya kehidupan. Lelah, letih dan kesal campur aduk. Seketika aku merasakan ada yang mengganjal di dada. Hatiku semakin memanas. Kemudian cahaya putih itu semakin terang. Bayangan laki-laki tadi semakin samar kalah akan cahaya putih itu. 

Celanaku basah. Tubuhku terasa dingin. Aku semakin tidak bertenaga. Rambutku samar-samar menutupi pandanganku. Cahaya putih tadi berubah. Cahaya itu terang, bahkan sangat terang. Tapi kali ini semuanya menjadi gelap dengan perlahan. Aku masih terdiam tidak bergerak. Aku sudah di dasar Starsnatch Cliff, menyatu dengan samudra yang biru. Cahaya putih itu tertutup oleh air laut. Anehnya aku tidak merasakan sesak karena tidak bisa bernafas. Udara tidak bisa masuk dan keluar dari jatung. Tapi aku masih terjaga. Mata ku masih jelas melihat dan sadar. Sadar aku mulai tenggelam dan cahaya semakin menggelap. 

Aku lemah. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Banyak sekali hal yang sebenarnya bisa aku lakukan. Aku bisa melakukan ini dan itu. Tapi aku tidak bisa merasakan rasa perjuangan yang sebenarnya. Aku masih hampa dengan hidup ini. Apakah ini karena empat tahun ke belakang ini yang berakhir menyedihkan. Aku semakin lemah dan lesu. Tidak mengerti apa yang benar-benar harus aku lakukan. Aku pasrah di telan oleh samudra. Aku pasrah. Aku mulai menutup mata.

Duarrrrr… Suara halilintar menyambar. Aku tersadar. Aku lupa aku sedang duduk di sore hari menghadap laptop untuk merasakan suasana sore. Awan masih menggulung. Suara hujan masih terdengan berdentum dengan atap seng. Aku mengambil segelas coklas yang sudah tidak panas lagi. Aku menghela nafas. Apa yang sudah aku tulis ini?  Mengapa aku bisa menuliskan tulisan ini? Apa sebenarnya yang terjadi padaku?. 

Aku menutup mata. Semua yang terlihat berputar-putar. Gelas di sampingku sudah tidak berbentuk gelas. Semua benda menjadi panjang dan berputar-putar. Berputar-putar semakin kencang dan berisik sekali. Aku tidak tahan dengan suara ini, begitu juga dengan rasa ini. Seperti ada yang mengganjal. Aku meneteskan air mata. Dan sekejap semuanya berhenti dan sunyi. Kemudian menjadi gelap.

Mataku terbuka kembali. Rasa dingin di tubuhku semakin menusuk. Suasana sepi, sendu dan sunyi. Aku masih menatap lesu. Kegelapan Samudra memang megerikan. Aku sendiri hanya berteman dengan sunyi. Aku menggerakkan tangan dan mengayun-ayunkan. Tapi, apa daya. Aku hanya sendiri di dalam samudra dengan asinnya air laut. 

Terdengar senyap-senyap seseorang memanggil-manggil dari atas. Tidak jelas, tapi memang suara seseorang memanggil. “Apakah ada orang lain di sini? siapa orang yang mau menyelami samudra yang dalam ini?”. Suara panggilan itu terdengar kembali. Semakin lama suara itu semakin keras. Terdengar ia memanggil-manggil namaku. Samudra itu gelap sekali. Semakin dalam semakin gelap. Tidak ada sumber cahaya sama sekali di sini.

Suara panggilan itu semakin keras. Suaranya terdengar tidak asing di telinga. Aku melihat secercah cahaya masuk. Cahaya itu terlihat padat. Walaupun kecil. Cahaya itu mampu merasuk pada gelapnya samudra. Aku melihat tangan yang turun beserta cahaya itu. Lengan berurat dan sedikit berbulu melambai-lambai mencoba menggapai ku. Aku masih terdiam, sesekali mengedipkan mata.

“Hiduplah… hiduplah… kamu masih layak untuk hidup. Akhir hidupmu bukan di sini” suara itu terdengar lirih tapi sangat jelas. Setelah mendengar bisikan itu seketika dada ku sesak. Aku butuh udara untuk bernafas. Gelembung-gelembung bermunculan dari hidup dan mulut hasil dari kepanikanku. Mataku menjadi perih karena air samudra yang masuk. Seketika aku menjadi bertenaga dan bisa menggerakkan tangan dan kaki untuk berenang. Air samudra masuk ke telinga membuat seluruh kepala penuh dengan irama kematian.

“Ngiiinggggg………….” suara hening yang memenuhi kepala. ”Apakah ini akhir dari segala apa yang telah aku perjuangkan?”. Tubuhku terasa dingin. Badanku basah kuyup. Rasa dingin semakin merasuk ke badan. Menjalar dari ujung kaki ke bagian terdalam dari hati kemudian membeku.

“tas, tas, tas…..” Suara air hujan jatuh lagi semakin deras. Tanpa sadar pipiku sudah basah oleh air mata. “Ada apa sebenarnya pada diriku ini? Kenapa aku menangis?” aku bertanya-tanya. Aku ambil segelas coklat yang sudah tidak hangat lagi untuk menenangkan. Aku melihat keluar jendela. Awan masih menggulung hitam. Hujan semakin deras. Aku menyerah, tidak aka ada sore yang aku ingin kan hari ini. Aku menutup laptop. Aku cukupkan hari ini dengan cerita beserta awan menggulung hari ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar