Minggu, 18 Desember 2022

Aku, Bukan Seperti Awan

 


 Rohimul Hadi AR

Aku memulai cerita ini dengan sebuah sore. Sore ini, mentari tidak terlihat turun. Tidak seperti biasanya. Memang akhir-akhir ini awan sering bebal. Beberapa kali aku mengumpat “mengapa ia selalu disana?”  Aku ingin sebuah sore. Suasana oranye di langit. Aku ingin menyatu dengan sore hingga aku lupa bahwa aku sedang di dunia nyata. 

Percuma saja, awan tidak akan mendengar. Dia tidak punya telinga. Dia juga tidak punya hati hingga tidak mau memahami apa yang aku inginkan. Dia bisu dan bebal. Aku sangat membencinya.

Aku duduk dengan laptop menyala di depan ku. Tidak ada senja yang orang-orang inginkan. Yang ada hanya mendung. Sepertinya akan segera hujan. Udara yang berhembus terasa dingin menerpa kulit. Tanda musim senja sedang berganti dengan musim hujan. 

Aku kira awan tidak punya hati hingga tidak paham apa yang aku inginkan. Awan sedang menangis. Ternyata, aku yang tidak punya hati. Aku terlalu egois, hingga awan harus memahamiku sedang aku tidak memahami nya. Walaupun aku egois, tapi aku perasa. Aku mampu merasakan segala isi hati yang tercurah dalam tingkah laku. Tidak hanya manusia, hewan, kucing, awan pun aku tahu apa yang ia rasakan. “Awan aku tahu kenapa kamu menangis. Kamu sudah terlalu lama memendam masalah mu sendiri. Walaupun kamu tinggi dan berwibawa. Kamu juga punya rasa yang tidak dapat kamu pendam sendiri. Menangislah ! menangislah ! tidak ada yang salah menangis. Dengan begitu, kamu akan lega, ringan dan riang. Teruslah menangis hingga air matamu habis”.

Aku pikir, bagaimana caranya untuk membuat hujan berhenti. Tidak ada acara lain selain menunggu. Jikalau orang mampu memindah awan yang sedang menangis. Itu bukan kehendaknya, melainkan awan sendiri yang ingin pergi, karena benci. Awan tahu, jika ada orang yang tidak mau mengerti perasaannya. Ia akan pergi tanpa disuruh. Buat apa awan menangis pada orang yang tidak mau ditangisi. Awan juga perasa, sama seperti aku. 

Hanya masalah waktu, musim senja akan datang. Hanya masalah waktu, awan akan berhenti menangis dan air matanya habis. Aku sabar. Tidak apa menunggu. Toh aku masih duduk di tempat yang sama, di bawah atap genting, lampu kuning remang-remang dan segelas cokelat panas. Tidak masalah tidak ada senja hari ini. Suasana ini sudah hampir sama dengan yang aku inginkan. Suara tangis awan juga tidak terlalu mengganggu. Aku bisa melupakan dunia sejenak di depan laptopku.

Aku sedang berdiri di ujung tebing. Aku tahu persis tempat ini. Orang-orang menyebutnya Starsnatch Cliff. Tempat yang sangat indah. Tebing yang sangat tinggi. Ujung tebing melancip menghadap barat. Tepat dimana mentari biasa turun. Sepanjang mata memandang hanyalah Samudra yang sangat luas. Hanya birunya laut dan birunya langit yang terlihat. Tidak ada awan di sana. Tebing dimana aku sedang berdiri ini sangat tinggi sekali. Mungkin butuh beberapa detik jika aku melempar batu dari atas sini hingga sampai ke dasar. Yang jelas sangat tinggi. Hempasan ombak Samudra saja tidak terlihat dari atas sini.

Aku masih berdiri disini. Angin bertiup dengan ringan. Hangat menembus kulit. Rerumputan berwarna oranye. Tidak ada pepohonan yang menghalangi arah pandang. Tempat yang sempurna untuk sendiri. Aku melangkahkan kaki ku menuju tebing paling ujung kemudian aku duduk. Kaki ku bisa ku ayun-ayunkan. Bagi orang yang memiliki fobia ketinggian sudah pasti sangat ketakutan. Seolah-olah tubuhnya tertarik untuk jatuh. 

Entah mengapa aku merasakan suatu kehampaan dalam hidup ini. Tidak tahu apa yang sebenarnya harus dikejar. Sudah lama sekali pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Sampai sekarang aku masih tidak tahu apa jawabannya. Petanyaan yang paling menggalnjal yaitu apa yang harus aku perjuangkan. Apa yang layak diperjuangkan hingga aku bisa menikmati rasanya berjuang. Hidup ini hampa jika tidak memiliki tujuan. Tapi, aku sudah lelah sekali. Beberapa waktu lalu aku sudah berjuang. Berjuang sangat lama sekali. Bisa dikatakan selama hampir empat tahun aku berjuang. Dan aku menikmatinya. Menikmati rasa lelah, letih dan capek. Tapi, perjuangan itu tidak terbafyarkan. Sekarang aku hampa.

Angin bergerak semakin keras. Tidak lagi sepoi-sepoi. Kali ini angin bergerak semakin kencang. Baju ku berkibar-kibar. Suaranya berisik di telingaku. Aku melihat ke atas. Terlihat puncak ujung Starsnatch Cliff lengkap dengan rerumputan oranye dan langit birunya. “Bukannya aku tadi duduk di sana mengayun-ayunkan kaki dan menikmati pemandangan langit biru?”. Aku melihat ke bawah. Kaki ku sudah tidak menapak lagi pada tanah. Aku juga sudah tidak lagi duduk di ujung Starsnatch Cliff. Aku terjatuh di tengah kehampaan. 

Waktu berjalan seperti melambat. Aku tidak bertenaga. Tubuhku menghadap ke atas. Suara angin di telinga juga tidak terdengar. Terlintas bayang-bayang cerita masa lalu. Kisah-kisah tentang canda dan tawa. Ketika dua manusia bersama-sama berbagi cerita, saling membutuhkan dan menghargai. Lantas aku sedikit tersenyum ketika cerita-cerita itu terlintas. Kisah-kisah itu kemudian menghilang dengan samar-samar. Awan putih muncul menutupi tergantikan awan hitam  kelam. Awan-awan bergemuruh, kemudian secercak cahaya muncul dari baliknya.

Terlihat samar-samar seorang terduduk di pinggir danau. Dia sedang memegang segelas kopi. Beberapa orang berlalu-lalang melewatinya. Tidak terlihat jelas muka semua orang yang ada di sana. Sejenak aku teringat. Itu adalah kisah di mana aku merenung. Melepaskan penat setelah menjalani beratnya kehidupan. Lelah, letih dan kesal campur aduk. Seketika aku merasakan ada yang mengganjal di dada. Hatiku semakin memanas. Kemudian cahaya putih itu semakin terang. Bayangan laki-laki tadi semakin samar kalah akan cahaya putih itu. 

Celanaku basah. Tubuhku terasa dingin. Aku semakin tidak bertenaga. Rambutku samar-samar menutupi pandanganku. Cahaya putih tadi berubah. Cahaya itu terang, bahkan sangat terang. Tapi kali ini semuanya menjadi gelap dengan perlahan. Aku masih terdiam tidak bergerak. Aku sudah di dasar Starsnatch Cliff, menyatu dengan samudra yang biru. Cahaya putih itu tertutup oleh air laut. Anehnya aku tidak merasakan sesak karena tidak bisa bernafas. Udara tidak bisa masuk dan keluar dari jatung. Tapi aku masih terjaga. Mata ku masih jelas melihat dan sadar. Sadar aku mulai tenggelam dan cahaya semakin menggelap. 

Aku lemah. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Banyak sekali hal yang sebenarnya bisa aku lakukan. Aku bisa melakukan ini dan itu. Tapi aku tidak bisa merasakan rasa perjuangan yang sebenarnya. Aku masih hampa dengan hidup ini. Apakah ini karena empat tahun ke belakang ini yang berakhir menyedihkan. Aku semakin lemah dan lesu. Tidak mengerti apa yang benar-benar harus aku lakukan. Aku pasrah di telan oleh samudra. Aku pasrah. Aku mulai menutup mata.

Duarrrrr… Suara halilintar menyambar. Aku tersadar. Aku lupa aku sedang duduk di sore hari menghadap laptop untuk merasakan suasana sore. Awan masih menggulung. Suara hujan masih terdengan berdentum dengan atap seng. Aku mengambil segelas coklas yang sudah tidak panas lagi. Aku menghela nafas. Apa yang sudah aku tulis ini?  Mengapa aku bisa menuliskan tulisan ini? Apa sebenarnya yang terjadi padaku?. 

Aku menutup mata. Semua yang terlihat berputar-putar. Gelas di sampingku sudah tidak berbentuk gelas. Semua benda menjadi panjang dan berputar-putar. Berputar-putar semakin kencang dan berisik sekali. Aku tidak tahan dengan suara ini, begitu juga dengan rasa ini. Seperti ada yang mengganjal. Aku meneteskan air mata. Dan sekejap semuanya berhenti dan sunyi. Kemudian menjadi gelap.

Mataku terbuka kembali. Rasa dingin di tubuhku semakin menusuk. Suasana sepi, sendu dan sunyi. Aku masih menatap lesu. Kegelapan Samudra memang megerikan. Aku sendiri hanya berteman dengan sunyi. Aku menggerakkan tangan dan mengayun-ayunkan. Tapi, apa daya. Aku hanya sendiri di dalam samudra dengan asinnya air laut. 

Terdengar senyap-senyap seseorang memanggil-manggil dari atas. Tidak jelas, tapi memang suara seseorang memanggil. “Apakah ada orang lain di sini? siapa orang yang mau menyelami samudra yang dalam ini?”. Suara panggilan itu terdengar kembali. Semakin lama suara itu semakin keras. Terdengar ia memanggil-manggil namaku. Samudra itu gelap sekali. Semakin dalam semakin gelap. Tidak ada sumber cahaya sama sekali di sini.

Suara panggilan itu semakin keras. Suaranya terdengar tidak asing di telinga. Aku melihat secercah cahaya masuk. Cahaya itu terlihat padat. Walaupun kecil. Cahaya itu mampu merasuk pada gelapnya samudra. Aku melihat tangan yang turun beserta cahaya itu. Lengan berurat dan sedikit berbulu melambai-lambai mencoba menggapai ku. Aku masih terdiam, sesekali mengedipkan mata.

“Hiduplah… hiduplah… kamu masih layak untuk hidup. Akhir hidupmu bukan di sini” suara itu terdengar lirih tapi sangat jelas. Setelah mendengar bisikan itu seketika dada ku sesak. Aku butuh udara untuk bernafas. Gelembung-gelembung bermunculan dari hidup dan mulut hasil dari kepanikanku. Mataku menjadi perih karena air samudra yang masuk. Seketika aku menjadi bertenaga dan bisa menggerakkan tangan dan kaki untuk berenang. Air samudra masuk ke telinga membuat seluruh kepala penuh dengan irama kematian.

“Ngiiinggggg………….” suara hening yang memenuhi kepala. ”Apakah ini akhir dari segala apa yang telah aku perjuangkan?”. Tubuhku terasa dingin. Badanku basah kuyup. Rasa dingin semakin merasuk ke badan. Menjalar dari ujung kaki ke bagian terdalam dari hati kemudian membeku.

“tas, tas, tas…..” Suara air hujan jatuh lagi semakin deras. Tanpa sadar pipiku sudah basah oleh air mata. “Ada apa sebenarnya pada diriku ini? Kenapa aku menangis?” aku bertanya-tanya. Aku ambil segelas coklat yang sudah tidak hangat lagi untuk menenangkan. Aku melihat keluar jendela. Awan masih menggulung hitam. Hujan semakin deras. Aku menyerah, tidak aka ada sore yang aku ingin kan hari ini. Aku menutup laptop. Aku cukupkan hari ini dengan cerita beserta awan menggulung hari ini. 

Minggu, 14 Maret 2021

KASIH TERHALANG HITUNGAN NAMA

 


                                                            Oleh : Rohimul Hadi AR

             “Lihat!!! pasangan pengantin itu sangat menawan. Kebaya yang dikenakannya sangat cocok sekali dengan Ajeng. Aku kira, Semua orang berpikiran sama denganku. Iya kan?” ujar Fani.

“Aku setuju dengan apa yang kamu katakan. Sampai aku iri dengan Ajeng. Suaminya ganteng dan postur tubuhnya idaman banget pokoknya. Tidak rugi dia memilihnya sebagai pasangan hidup” Asih sependapat dengan Fani.

Gamelan berdendang mengiringi ritual yang sangat sakral. Prosesi pernikahan menyatukan dua insan menjadi satu, menyatukan dua keluarga menjadi satu dan menjadikan satu kesatuan baru. Suara merdu sinden turut membuat prosesi menjadi khusuk.  Dua pasang pengantin duduk di pelaminan dengan pakaian adat jawa. Mereka menebar senyum indah yang membuat orang terpesona. Pasangan yang serasi.

***

“Kamu gak pake sayur lagi makannya? Pokoknya kamu harus makan sayur walaupun sedikit. Kan kasian nanti perutmu. Aku gak mau lagi kamu sakit. Aku gak mau lagi kamu tidak masuk kerja. Nanti aku sedih” pinta Ajeng sambil mengambil sayur dari piringnya.

“Uluh-Uluh perhatiannya orang paling resek sedunia ini.  Aku gak suka sayur sayang. Sedikit saja yah” Gilang menawar.

“Tidak bisa !!! pokok nya kamu harus habiskan” Ajeng menambahkan sayur ke piring Gilang hingga sayur di piringnya sendiri habis.

“Loh Sayang, kamu juga harus makan sayur juga. Kalo aku saja yang makan sayur, kamu nanti sakit juga loh.”

“Sudah, pokoknya kamu habiskan makanan di piringmu. Aku bisa pesan sayur lagi.”

Perdebatan kali ini dimenangkan oleh Ajeng. Gilang dengan terpaksa menghabiskan makanan di piringnya walaupun sayur yang diberikan Ajeng hanya sedikit yang tersentuh. Mereka berdua damai dalam meja kantin. Makan siang telah usai. Waktunya kembali ke pekerjaan masing-masing.

Ajeng bekerja di bagian marketing sedangkan Gilang menjadi kepala bagian Public Relation  di salah satu perusahaan terknologi ternama. Mereka memiliki tempat yang terpisah oleh sekat kaca. Ajeng sering curi-curi pandang ke Gilang di balik sekat kaca. Pertemuan pertama mereka dimulai ketika rapat para kepala bagian dua tahun lalu. Ajeng yang merupakan karyawan baru kala itu, diharuskan melakukan presentase penjualan menggantikan kepala marketing yang sedang cuti. Ajeng mempresentasikan dengan luwes dan sangat mudah difahami. Hal itu membuat Gilang tertarik dengan caranya menyuguhkan materi. Setelah presentasi hari itu Gilang langsung menghampiri Ajeng dan mengobrol bersama.

Dengan berjalannya waktu, hubungan mereka berdua semakin dekat.

“Fan, tanya dong. Gimana caranya mengatasi orang yang gak suka makan sayur. Kamu tahu sendirikan seberapa pentingnya makan sayur. Bagaimana bisa seseorang  hidup tanpa sayuran” chat Ajeng kepada Fani sepulang kerja.

“Gimana yah. Agak susah sih kalo membujuk orang untuk menyukai apa yang tidak disukai” balas Fani.

“Ya gimana dong. Aku gak mau kan dia sakit lagi. Emang susah, buat Gilang makan sayur. Bandel pokoknya kalo suruh makan sayur. Untung waktu itu dokter Arya kenalan bapak bisa dihubungi mendadak. Jadi ketolong tuh si manja yang gak doyan sayur”

Waktu itu Gilang sakit perut yang luar biasa. Tidak bukan karena kebiasaan Gilang yang tidak suka dengan sayur. Akibatnya proses pencernaan Gilang tidak bisa berjalan dengan baik. Gilang sudah lima hari tidak bisa buang air besar. Bayangkan sudah berapa banyak makanan yang tersumbat di perutnya.

Arya yang memiliki salah satu klinik di dekat rumah Ajeng sedang libur, jadi bisa dihubungi dengan telepon. Arya memiliki hubungan baik dengan keluarga Ajeng. Jika ada yang perlu dikonsultasikan tentang kesehatan, tidak perlu datang ke tempat prakteknya. Beruntung keadaan Gilang bisa diselamatkan berkat resep obat yang diberikan oleh Arya.

“Aku punya ide, Ajeng. Gimana kalo suruh dia makan buah saja. Buah juga punya manfaat yang mirip-mirip dengan sayur. Atau yang lebih kekinian kamu kasih minum jus. Mungkin dia lebih suka”

“Oke, besok aku coba”

Hari semakin larut. Mentari turun dari langit, bulan memanjat naik mengantikan mentari. Cerita hari ini baru dimulai.

Keesokan harinya pada jam makan siang. Waktu yang sama, dan tempat duduk yang sama. Seolah-olah meja itu sudah menjadi miliknya. Terletak sebelah jendela berhadapan dengan pemandangan kota yang super padat. Kantin itu terletak di lantai tiga.     

“Sayang, Aku bawain jus mangga. Kamu minum, Yah!.  Aku khawatir sama kamu. Coba pikir, kapan terakhir kali kamu makan sayur?” Ajeng menyodorkan Jus yang baru diambil dari kulkas yang ada di kantor. Ajeng membuatnya sendiri sebelum berangkat.

“Sebenernya aku tidak suka buah mangga. Aku sudah bilang kalo lidahku sangat sensitif. Aku gak bisa makan yang rasanya asam”

“Mana ada mangga rasanya asam, kalo mangga muda baru rasanya asam. Jus mangga manis kok, udah ada tambahan susunya juga. Yakin dah kamu pasti suka” tutur Ajeng sambil menepuk bahu Gilang.

“Oke, nanti aku minum jus mangganya. Jadi kamu tidak harus menambahkan sayur di piringku, yah” Gilang mengantisipasi kebiasaan Ajeng menaruh sayur di piring makan siangnya walaupun tidak selalu dimakan oleh Gilang.

“Omong-omong libur panjang besok, Sayang ada rencana pulang tidak?” tanya Gilang.

“Ya, pulang dong. Ketemu keluarga di rumah. Kenapa kamu tanya begitu ? Kan kamu sudah tahu kalo ada waktu luang aku pasti pulang. Bapak sama Ibu pasti rindu kalau anak kesayangannya tidak pulang”

“Aku mau ikut ke rumah mu, Sayang. Mau ketemu langsung sama orang tua mu. Masak gak boleh kalo mau ketemu sama calon mertua” ucap Gilang.

“Boleh sih, tapi gimana yah. Bapak ku itu galak banget loh” Ucap Ajeng beralasan bahwa Ajeng masih belum siap.

“Kalo masalah galak-menggalak aku berani. Jangankan Ayah mu yang galak, Bos kita orang yang paling galak sekantor pun aku tidak takut. Jadi, tidak usah khawatir. Aku bisa mengatasinya dan siap menerima sikapnya” Gilang menepukkan tangan kanan di dadanya. Sangat optimis bisa menghadapi kegalakan Bapaknya Ajeng.

Libur panjang tiba. Dua tanggal merah di hari Selasa dan Rabu menjadikan hari Senin hari kejepit. Bos yang memiliki watak keras dan galak berbaik hati pada karyawannya untuk meliburkan hari Senin. “Hari terjepit” Si Bos bilang.

Perjalanan enam jam dari pusat kota menuju rumah Ajeng bukanlah hal berat. Apalagi sudah ada jalan bebas hambatan yang sudah diresmikan tahun lalu. Akses antar kota semakin mudah. Biasanya Ajeng pulang pergi menggunakan kereta. Karena liburan kali ini bersama Gilang, Ajeng bisa lebih santai lagi diperjalanan dengan mobil milik Gilang.

Gilang sudah tidak sabar lagi. Di usianya yang sudah tahu makna hubungan antara laki-laki dan perempuan bukanlah untuk main-main. Keputusan untuk bertemu dengan Bapaknya Ajeng adalah keputusan yang tepat menurutnya. Jika menunggu waktu libur panjang membutuhkan beberapa bulan lagi. Hubungan yang ia jalani bersama Ajeng sudah menginjak setahun lebih. Waktu yang sudah cukup untuk memperkenalkan diri ke orang tua Ajeng. Keputusan sudah bulat untuk bersama Ajeng untuk waktu yang lama.

Mobil merah itu berhenti di halaman rumah Ajeng. Ajeng sudah memperkenalkan Gilang ke Ibunya, tidak dengan Bapaknya. Ibu sudah bercerita banyak tentang hubungan Ajeng dan Gilang ke Bapak. Ajeng tidak terlalu dekat dengan Bapak.

“Pak, Perkenalkan nama saya Gilang Sanjaya, Pacarnya Ajeng” dengan mantap Gilang memperkenalkan diri. Bapak dan Ibunya turut duduk di ruang tamu yang berdekorasi kejawen. Ajeng duduk di sebelah Ibunya setelah memberikan minuman yang dibuatnya pada Gilang dan orang tuanya.

“Oke, coba bapak pengin tahu nama lengkap kamu siapa? Tanggal lahir kamu berapa? dan kamu anak ke berapa?” tanya Bapaknya Ajeng. Tiga pertanyaan yang menentukan kelanjutan hubungan antara keduanya. Ajeng sebenarnya sudah tahu akan jawaban yang akan diutarakan oleh Bapaknya. Ibunya sudah bercerita dari telpon beberapa waktu lalu.

“Nama saya Gilang Sanjaya, Pak. Tanggal lahir saya 15 April 1995, dan saya anak pertama dari tiga bersaudara” Gilang menjawab yakin. Pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab. Ajeng takut tidak kuat melihat reaksi Gilang mendengar pernyataan Bapak. Ia meninggalkan ruang tamu. Ibunya menoleh cepat kepada Ajeng, lalu mengikutinya. Ibu sudah tahu apa yang akan dirasakan oleh Ajeng. Inilah yang membuat Ajeng belum siap untuk mengenalkan Gilang ke Bapak. Ajeng sudah tahu. 

“Sudah berapa lama kamu pacaran dengan anak saya, Gilang?” Bapaknya Ajeng bertanya hanya untuk memastikan. Seluk beluk tentang Gilang sudah diketahuinya berdasarkan cerita Istrinya.

“Sudah setahun lebih, tepatnya empat belas bulan lebih lima hari” Hari dimana Gilang memberanikan diri mengungkapkan perasaannya pada Ajeng di sebuah kafe.

“Gilang, kamu sama anak saya mau tetap berpacaran atau mau sampai menikah?”

“Sudah tentu tujuan saya ke rumah bapak untuk bersilaturahmi dan saling mengenal. Tidak lain-tidak bukan pasti tujuan saya kedepannya bisa ke jenjang berikutnya” jawab Gilang yakin.

“Gilang, coba kamu perhatikan isi ruangan ini. kamu tahu kan kenapa ruangan ini seperti ini?” tanya Bapaknya Ajeng. Gilang yang belum sempat memperhatikan seisi ruangan karena sewaktu sampai di rumah Ajeng langsung dipersilahkan masuk dan langsung bertemu dengan bapaknya Ajeng di ruang tamu. Karena sifat keberaniannya ia hanya fokus pada seorang lelaki tua yang berhadapan dengannya. Sifat keberaniannya terhadap bos super galak di kantor terbawa ke rumah calon mertuanya.

Gilang memperhatikan sekitar dengan sangat seksama. Tiap sudut tak terlewat dari matanya. Ia paling lihai dalam memainkan pandangan.

Foto lelaki dengan blankon dan keris tersampir terpampang besar sebagai background yang sangat mencolok. Di sebelahnya ada foto pernikahan dan foto-foto orang-orang yang tidak dikenalnya. Ajeng sudah memperkenalkan semua anggota keluarganya ke Gilang. Tapi Gilang tidak tahu siapa orang yang ada di foto-foto itu.

Kursi yang digunakan di ruang tamu terbuat dari kayu jati tua. Orang yang ahli dalam bidang perkayuan pasti tahu umur dari kursi itu sudah lebih dari seratus tahun, begitu juga dengan meja dan perabotan lainnya.

Lampu-lampu  berwarna kuning juga turut menjadi penghias dan sebagai penerang di ruangan itu. Ruangan atas jawaban hubungan Gilang dan Ajeng selanjutnya. Kini keberaniannya mulai terkikis. Tak diperhatikan sebelumnya. Ia baru sadar setelah lima belas menit di dalam rumah itu. Bapaknya Ajeng bukanlah orang biasa. Foto lelaki yang terpampang besar ruangan itu adalah foto kakeknya Ajeng.

“Gilang, Bapak mohon maaf. Keluarga saya sangat menjunjung tinggi adat jawa. Leluhur saya adalah orang jawa. Bisa dilihat cerminan adat jawa saya dalam ruangan ini. Begitu juga dengan perjodohan. Ini juga demi kebaikan anak kesayangan saya, Ajeng”

“Maksudnya bagaimana ya, Pak? Aku belum faham apa yang Bapak maksud” ujar Gilang pada seorang bapak-bapak di hadapannya. Ruangan semakin mencekam dengan suasana lampu kuning yang menerangi.

“Sebelumnya, Bapak mohon Gilang mau menerima pernyataan yang akan Bapak utarakan”

Gilang mengangguk meng-iyakan. Kedua tangannya memegang lututnya tidak sabar mau mendengar apa yang akan dikatakan Bapaknya Ajeng.

“Aku tidak setuju hubungan mu dengan Ajeng” ujar seorang bapak-bapak di hadapannya. Singkat, padat, jelas dan menusuk. Gilang diam mematung. Ibunya menenangkan Ajeng di kamar. Tahu jika Ajeng akan sangat terpuruk. Rencana terburuk mengiyakan Gilang datang ke rumah. Lebih baik hal ini tidak terjadi jika itu akan membuatnya sakit hati.

Inilah ketidaksiapan Ajeng mengijinkan Gilang untuk menghadap orang tuanya. Dari cerita Ibunya beberapa waktu lalu. Gilang bukan merupakan jodoh yang paling baik untuk Ajeng.

“Pertama, kamu dan anak saya hanya berbeda satu tahun. Itu merupakan hal yang membuat hidupmu akan tidak mesra di waktu yang akan datang. Kamu sudah mengerti. Tingkat kedewasaan perempuan lebih cepat dari pada seorang lelaki. Pada waktu yang akan datang, dalam hubungan rumah tangga mu. Kamu akan disetir oleh Ajeng. Kamu tahu, itu akan membuat hidup seorang lelaki akan hilang kewibawaannya” ucap seorang bapak-bapak bertubuh gempal dengan kumis tebal. Gilang terdiam mendengarkan dengan seksama. Kedua tangannya masih memegang lututnya.

“Kedua, dari hitungan tanggal lahir. Hidup mu dengan Ajeng akan tidak tentram, banyak pertengkaran, dan tidak harmonis. Tentunya pertengkaran itu akan membawa pada perceraian bahkan perselingkuhan”

Gilang masih tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.  Tidak mungkin hanya karena tanggal lahir, nasib seseorang bisa diketahui. Hanya bualan belaka.

“Saya tidak percaya hal seperti itu Pak. Saya pasti bisa mengarungi bahtera rumah tangga bersama Ajeng. Saya punya lebih dari cukup kekayaan untuk menghidupi”

Sebagai kepala bagian Public Relation pada perusahaan teknologi ternama sudah lebih dari cukup. Rumah dan mobil sudah dimilikinya. Tidak hanya ketampanannya. Bagi Ajeng ini adalah keputusan yang sangat berat. Ia harus rela meninggalkan seorang lelaki mapan yang mencintainya. Ajeng masih belum siap.

“Gilang, kunci kebahagiaan rumah tangga bukan hanya karena harta kekayaan. Lebih utama lagi kepribadian masing-masing. Karakter seorang perempuan dan seorang laki-laki harus cocok. Dua hal yang perlu kamu perhatikan dari namamu. Kamu tidak memiliki komitmen dan kehidupanmu boros”

Benar apa yang dikatakan seorang bapak-bapak dihadapannya. Ketika Gilang menemui Ajeng ketika selesai presentasi rapat bersama pimpinan kala itu. itu dilakukan oleh Gilang karena ia memperoleh protes keras dari para kepala bagian yang lain dan terutama bos yang super galak mendengarkan. Pada rapat sebelumnya Gilang menawarkan idenya yang dianggap cemerlang, akan tetapi pada rapat bulan itu. Gilang menawarkan hal yang berbeda. Hal ini mempengaruhi hubungan perusahaan dengan distributor perusahaan teknologi ternama tempat ia bekerja.

Walau dikatakan Gilang dikatakan sukses di usia muda. Itu berkat kegigihan sifatnya dan mau terus berjuang, ia tidak mampu membentengi nafsunya. Kehidupannya yang terlalu glamor, membeli pakaian, jam tangan dan modifikasi mobil membuat hartanya tidak terorganisir dengan baik. Gilang orang yang sangat boros.

“Ketiga, dalam adat saya. Sungguh pamali jika anak pertama menikah dengan anak ketiga. Kamu sudah tau sendiri jika Ajeng adalah anak saya nomor tiga. Pernikahan anak pertama dan anak ketiga akan mendatangkan pertengkaran. Satu masalah selesai, satu masalah lain datang. Kamu juga akan kehilangan banyak hartamu akibat pernikahan jenis ini, selain karena hidup mu yang boros. Terakhir, salah satu dari kalian akan meninggal terlebih dahulu jika hubungan ini akan dilanjutkan ke jenjang pernikahan”  Ucap lagi dari seorang bapak-bapak dihadapan Gilang.

Kali ini gilang setuju dengan apa yang dikatakannya. Hanya dengan mengartikan namanya Gilang merasa benar apa yang dikatakan Bapaknya Ajeng. Dia benar jika Gilang adalah orang yang kurang dalam berkomitmen dan juga yang sangat menyentuh dirinya ketika Bapaknya Ajeng berkata tentang sikap borosnya. Orang yang dihadapannya memang orang hebat.

“Kamu sudah tahu kan mengapa Bapak tidak menyetujui hubunganmu dengan anak saya. Bukan hanya tentang kebaikan anak saya, ini juga tentang kebaikanmu” Lelaki dihadapan Gilang berkata meredakan.

Setelah beberapa lama mengobrol dengan Bapaknya Ajeng. Gilang meninggalkan rumah Ajeng tanpa pamit dengan Ajeng. Ajeng tidak mau keluar dari kamarnya. Bapak dan Ibunya Ajeng melepas kepergian Gilang. Mobil merah nya keluar dari halaman rumah dan melaju menuju pintu jalan bebas hambatan terdekat. Perjalanan pulangnya kurang dari enam jam seperti perjalanan menuju rumah Ajeng. Mobil hasil modifikasinya membuat jalanan bebas hambatan seperti lintasan balap. Gas diinjak penuh, meliuk-liuk menyalip kendaran yang di depannya. Gilang sedang patah hati.

Ajeng murung dikamarnya setelah kepergian Gilang. Hingga tiba hari kamis untuk kembali bekerja, ia tetap merenung dikamarnya. Masih tidak rela harus meninggalkan Gilang. Rencana paling buruk mengiyakan Gilang ikut ke rumah.

“Ajeng, ayo dong dimakan makanannya. Kamu dari kemarin-kemarin tidak banyak makan. Tidak baik untuk kesehatanmu” Ibunya menyodorkan makanan kesokaannya. Ajeng masih tetap diam meringkuk dalam selimut. Kebiasaan waktu ia pulang ke rumah, adalah wajib untuk dibuatkan makanan kesukaannya. Makanan wajib ketika pulang, tapi kali ini tidak mempan.

“Kamu mau makan apa, Nak?” tanya ibunya, ”supaya kamu mau makan” Ibunya meletakkan makanan kesukaan Ajeng di meja kamarnya.

Ajeng bangkit dan duduk di bawah jendela besar sebelah dipannya. Di bawah gorden putih ia menatap keluar. Selimut tebalnya masih melingkupi tubuhnya. Ibunya naik ke dipan, merangkul anak perempuan kesayangannya.

                Ibunya menyentuh dahi Ajeng. Terasa lebih panas dari biasanya. Kemudian tangan lembutnya menyentuh pipi Ajeng. Ajeng sedang sakit.

                “Pak...!!! Pak...!!!” teriak Ibu dari kamar. Bapak datang tidak lama setelah ibu berteriak memanggil.

                “Pak Panggilkan Arya. Badan Ajeng Panas. Cepet, Pak...!!!” suruh Ibu segera.

                Jarak yang tidak terlalu jauh antara klinik Arya dan rumah. Tidak sampai sepuluh menit Arya sampai. Klinik dititipkan pada asistennya. Klinik tidak sedang ramai. Jadi tidak masalah ditinggal sementara.

                Arya berusia sekitar tiga tahun lebih tua dari Gilang. Umurnya Menginjak hampir tiga puluh tahun. Arya menjalankan klinik milik Bapaknya yang juga dokter juga. Bapak dari Arya merupakan sabahat karib dengan Bapaknya Ajeng. Jadi tidak sungkan jika mereka saling membantu. Bahkan tidak pernah mau menerima uang dari keluarga Ajeng ketika berobat di kliniknya walaupun sudah dipaksa. Mereka adalah teman sedari masih sekolah dasar.

                “Ajeng kurang nutrisi, Bu. Tapi kondisinya tidak perlu dikhawatirkan jika ia mau makan dan minum vitamin setelah ini” ujar Arya.

“Dia harus makan, dan minum vitamin dan buah-buahan. Setelah ini saya bawakan vitaminnya” Ibu dan Bapaknya duduk  kursi yang ada di kamar itu. Arya menenangkan.

Arya sudah mengetahui sebab mengapa Ajeng seperti itu. Ibu sudah bercerita sebelumnya. Lebih tepatnya konsultasi mengenai kondisi Ajeng yang tidak mau makan. Mau makan pun hanya sedikit, hanya beberapa suap.

Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Ajeng membaik. Ajeng mendapat telepon dari Bos super galak di kantor. Isi dari pembicaraannya mengenai karirnya di perusahaan. Bos super galak itu memberi peringatan jika ia tidak kembali ke perusahaan dia akan dipecat. Gilang sudah memberi keterangan kepada Bos jika Ajeng sedang tidak sehat. Alasan itu tidak bisa diterima oleh Bos. Ajeng tidak memberitahukan sendiri kondisinya. Statusnya dia membolos dari kantor. Membolos tiga hari berurut-urut sudah selayaknya mendapat peringatan keras dari Bos. “Kembali sekarang, atau kamu saya pecat” Ujar Si Bos yang paling galak.

Ajeng tidak mau mengulang kenangannya. Ia tidak mau merusak hatinya. Hatinya terlalu rapuh untuk bertemu Gilang. Ia tidak mau menangis di kantor.

Keputusan berat Ajeng telah ditentukan. Ia memilih mengundurkan diri dari perusahaan daripada harus bekerja dengan bayang-bayang perasaan dengan Gilang. Perasaan yang akan membuatnya sakit. Hubungan cinta yang tidak direstui, tidak akan mungkin untuk dilanjutkan. Ajeng tidak mau melawan orang tua, terutama Bapaknya.

Beberapa bulan setelah kepergian Gilang dari rumah.

“Ajeng, kamu sangat cocok dengan Arya. Pertama mungkin kamu akan tidak suka. Pasti dalam waktu yang akan datang, kamu tidak bisa lepas darinya” Ujar seorang lelaki yang ada di foto dinding ruang tamu.  Sebenarnya, Ajeng sudah dijodohkan oleh Bapak dengan Arya. Ajeng tidak mau menerima perjodohan  yang diberikan. Ajeng tidak suka dengan Arya karena pada mulanya Ajeng tidak suka dengan lelaki yang terlampau agak jauh lebih tua. Ajeng suka lelaki yang berumur tidak jauh dengan dirinya. Dia pikir akan lebih mudah dengan lelaki yang seperti itu.

“Manut saja sama Bapak. Kamu pasti bahagia. Ingat kamu dengan Gilang tidak memiliki sifat yang sesuai. Kamu dan Gilang akan mendapat banyak masalah di akhir hubungan kalian. Bapak tahu itu keputusan yang berat, tapi Bapak juga tidak ingin kamu menderita nantinya. Dengan kamu hidup bersama dengan Arya, Bapak jamin kamu akan hidup bahagia”

“Kamu mengertikan bagaimana adat keluarga kita. Bapak sudah hitung, bibit, bebet, dan bobotnya. Tidak hanya itu, hitungan nama, tanggal dan weton nya semua sudah baik. Bapak yakin kamu pasti bahagia”

Ajeng kali ini menurut dengan perkataan Bapaknya. Menurut pengalaman Ajeng melihat perjodohan yang dilakukan Bapaknya. Ia yakin akan perkataan Bapaknya. Keluarga Ajeng merupakan keluarga terpandang di daerahnya. Foto yang terpampang lebar di ruang tamu rumahnya merupakan tokoh paling disegani. Sikap dan sifat orang yang ada di foto itu menurun pada anaknya. Oleh sebab itu, Bapak sering dimintai tolong untuk menghitung apakah seorang pasangan akan berhasil atau tidak. Yang menerima perkataan Bapak maka ia beruntung, yang tidak menerima perkataan Bapak maka akan terjadi seperti apa yang dikatakan.

Hari yang dimaksud datang. Hari kegembiraan. Acara sakral mempersatukan dua insan, dua keluarga. Kini Ajeng dan Arya resmi menjadi satu kesatuan keluarga.

Gamelan berbedang dengan lantang. Sinden mengiringi dengan lantunan tembang yang indah. Para tamu berdatangan. Bersiap melihat sepasang pengantin jawa. Semua sudah tidak sabar. Ketika pasangan pengantin keluar dari balik tirai semua mata tertuju pada pengantin. Ajeng menggandeng tangan Arya dan berjalan perlahan mengikuti suara gamelan. Mereka duduk di pelaminan. Bergandeng tangan mesra. Keluarga bahagia segera terbentuk.

Minggu, 07 Februari 2021

Jangan Hanya Jadi Penikmat

 


Oleh : Rohimul Hadi

“KRINGGG.....” Bel sekolah berbunyi panjang tanda jam istirahat. Thira sudah tidak sabar keluar dari kelas. Tidak ada yang menarik semua yang diajarkan oleh guru. Hanya ada kantuk di dalam kelas. Untuk mengatasi kantuk itu, Thira sering mencuri waktu membaca buku berupa komik terbaru. Bisa dikatakan, waktu membaca komik lebih banyak daripada memperhatikan guru menjelaskan. Sudah banyak sekali teguran akibat perbuatannya. Bahkan tidak jarang ia terkena lempar penghapus, juga beberapa komiknya disita oleh guru yang sedang mengajar. Jangan tanya tentang nilai. Hampir semua nilainya buruk, kecuali mata pelajaran sejarah. Orang tuanya pun beberapa kali dipanggil oleh BK atas tingkah laku anak semata wayangnya.

Thira seorang anak dari saudagar kaya di kota. Anak tunggal. Ibunya meninggal ketika melahirkannya. Ayahnya mengasuh sendirian dari kecil hingga dewasa. Ayahnya sangat mandiri berkebalikan dengan Thira. Karena Thira anak satu-satunya, semua keinginannya selalu dipenuhi oleh ayahnya. Itulah yang membuat Thira susah diatur, ia anak manja. Anak yang sudah nyaman dengan kehidupannya.

“Kemarin aku lihat di instagram komikus favoritku, hari ini komik terbarunya sudah bisa dibeli di toko buku seluruh Indonesia. Kamu mau ikut? Aku ingin ke toko buku dan membelinya” Thira mengajak Danu dengan antusias. Jikalau Danu tidak mau ikut pun, Thira akan pergi sendiri. Dia sudah biasa pergi kemana-mana sendirian.

“Boleh... boleh... Tapi cuma nemenin ke toko buku, ya! Ibarat nanti mampir-mampir ke tempat lain, aku tidak ikut. Nanti sore aku ada les privat. Takut-takut nanti aku dimarahi mama” Danu mengiyakan ajakan Thira. Sudah kebiasaan Thira pergi ke Toko buku kemudian mampir ke cafe, langsung membaca komik yang baru dibelinya.

Sudah berapa banyak komik yang dimiliki Thira. Masih kelas dua SMA sudah memiliki koleksi komik yang sangat banyak. Tidak hanya koleksi dari komikus dalam negeri, komik-komik dari luar negeri pun ia miliki. Tidak hanya komik, tapi juga novel-novel juga sangat banyak. Ayahnya membuatkan ruangan khusus untuk menyimpan koleksi buku-bukunya. Ruangan itu dibuat di samping kamarnya. Bekas kamar ibunya yang sudah tidak terpakai. Lemari-lemari buku mengelilingi tembok kamar itu. Di pintu kamar itu tertulis Perpustakaan Thira. Pintu kamar itu terbuat dari kaca, sengaja diganti agar koleksi komiknya terlihat dari luar. Begitu juga temboknya.

“KRIIINGGG... KRIIINGGG... KRIIINGGG...” Kali ini bel sekolah berbunyi tiga kali tanda jam pelajaran terakhir selesai. Waktu untuk pulang. Waktu untuk bersenang-senang di surganya buku.

Mereka berdua keluar dari gerbang sekolah. Pergi ke tempat pemberhentian bis umum. Banyak orang disana. Mayoritas anak-anak dari sekolah tempat Thira menuntut ilmu. Karena ini jam pulang sekolah. Walaupun anak orang kaya, Thira tidak di perkenankan mengendarai kendaraan pribadi.  Jikalau Thira minta dibelikan mobil pun pasti dibelikan oleh ayahnya. Beberapa waktu sebelumnya, Thira pernah meminta dibelikan kendaraan untuk mobilitas pulang-pergi ke sekolah. Ayahnya berjanji akan membelikannya jika usia Thira sudah boleh secara hukum untuk mengendarai kendaraan pribadi. Ayahnya tidak bisa menjemput. Dia orang sibuk. Lagi pula jarak antara sekolah dan rumah hanya memakan 30 menit perjalanan dengan bis kota.

Bis yang akan dinaiki datang. Lima belas menit sekali bis datang untuk menjemput penumpang. Yang tidak kebagian harus menunggu lebih lama di halte. Toko buku dan Rumah Thira sejalan. Begitu juga dengan Rumah Danu.

Kondektur bis mengkondisikan penumpang yang turun untuk keluar terlebih dahulu. Anak-anak berseragam yang siap untuk naik ke bis harus bersabar, memberi ruang untuk orang turun dan keluar dari bis. Suasana halte ramai mengular sampai keluar halte yang berisi anak-anak berseragam sekolah. Untung saja halte berada di bawah pepohonan rindang. Jadi tidak masalah untuk menunggu beberapa waktu.

Thira dan anak berseragam sekolah masuk setelah kondektur mempersilahkan. Perempuan berseragam didahulukan untuk duduk, pria berseragam harus rela berdiri. Lima belas menit kemudian sampailah di toko buku terbesar yang ada di kota itu. Sisanya baru bisa duduk. Thira lebih suka berdiri dari pada duduk di dalam bis.

Thira turun dengan tersenyum “hari ini akan ada koleksi baru di perpustakaanku.”

Mereka berdua masuk. Komik yang Thira maksud terpajang di rak buku paling depan. Disusun menjulang tinggi membuat siapa saja yang kesana tertarik untuk melihatnya. Thira mengambil salah satu komik dari sana. Seperti kebiasaan, Thira tidak langsung pulang setelah mendapatkan apa yang ia ingin beli. Ia berkeliling terlebih dahulu, mengelilingi seluruh rak-rak buku yang ada. Mulai dari rak komik, novel, politik sampai ke rak buku-buku memasak. Semuanya dilewati tanpa terkecuali. Karena seringnya ia ke toko buku itu, ia sampai hafal mana saja buku yang sudah habis dan mana saja buku yang baru saja ditaruh di rak. Danu yang menemani sampai jenuh. Hampir satu jam mereka berdua berkeliling sebelum akhirnya Thira menuju kasir untuk membayar satu buku yang ada di tangannnya.

Mereka berdua kembali ke halte dimana mereka turun tadi. Kali ini tidak ada anak berseragam. Waktu pulang sekolah sudah selesai. Lima belas menit kemudian Thira sampai di halte dekat rumahnya. Danu turun dihalte setelahnya.

Thira langsung masuk ke perpustakaannya. Menanggalkan tas dan seragamnya di sofa. Ia tiduran sambil membuka plastik pembungkus buku. Beberapa saat kemudian ia terlelap dalam bacaannya. Waktu berlalu dengan cepat. Terlelap dalam cerita satu jam di dunia nyata seperti satu menit dalam cerita. Thira sangat menikmati alur cerita dalam komik yang baru dibelinya.

Pintu terbuka. Seorang lelaki datang dari balik pintu kaca. Ayah Thira datang dengan raut muka yang tidak enak. Ia duduk di sebelah Thira yang tiduran.

“Thira, Ambilkan Ayah air putih. Ayah Haus” lelaki terbilang hampir kepala empat menepuk bahu Thira.

“Ayah kan sudah punya kaki, punya tangan. Bisa jalan sendiri, bisa ambil sendiri. Thira masih sibuk baca komik, Yah. Lagi bagian asik-asiknya ini” Thira masih tiduran dan sibuk dengan komiknya.

“THIRA.........!!!” Panggil Ayahnya dengan nada panjang. Jika sudah begitu, Thira tidak akan lagi melawan. Walau sering dimanja oleh ayahnya. Thira masih ada rasa takut kepada ayahnya jika sudah memanggil dengan panggilan seperti itu. Pernah dahulu ia kena tampar dan beberapa buku koleksinya dirobek akibat kelakuan Thira yang sudah melampaui batas. Ayahnya sangat sayang pada Thira, dan juga sangat keras jika sudah melampaui batas.

Thira beranjak dari tidurannya. Meletakkan komiknya di sofa.

“Sudah Ayah bilang berulang kali. Tas sama baju, selepas sekolah ditaruh yang rapi. Digantung, jangan digeletakkan begitu” Ayahnya bilang sambil merapikan baju dan tasnya.

“Ini, Yah” Thira menyodorkan segelas air putih yang diminta.

“Guru BK menelpon Ayah lagi tadi siang. Masalah kamu selalu membaca buku lain dan tidak memperhatikan guru yang menjelaskan. Ujian kenaikan kelas akan datang minggu depan. Jika kamu seperti ini terus, kamu tidak akan naik kelas, Thira.”

“Ya bagaimana lagi, guru-guru di sekolah tidak ada yang menarik dalam menjelaskan. Hanya membuat pusing saja. Daripada aku tidur di kelas, mending aku baca komik”

“Mulai besok sampai ujian selesai, perpustakaanmu Ayah kunci. Tanpa tapi-tapian. Ayah ingin kamu belajar, tidak hanya baca komik saja. Sampai kamu tidak naik kelas, semua isi perpustakaan yang kamu punya ayah berikan ke orang lain. Dan ayah tidak akan mengijinkan kamu untuk membeli komik baru ataupun buku baru. Tidak akan pernah” Ayah Thira menegaskan sambil menunjuk seluruh isi ruangan.

“Tapi yah...”

“Mulai besok kamu harus ikut les privat. Nanti ayah carikan guru lesnya. Tidak ada baca komik sampai ujian selesai” tegas Ayah Thira. Gelas berisi air putih itu belum habis. Diletakkannya di meja sebelah sofa.

Keesokan harinya sampai ujian selesai adalah hari yang berat. Tidak ada komik untuk dibaca. Internet di rumahnya pun dimatikan, agar ia tidak mencuri-curi waktu untuk membacanya dari web. Hari-harinya berjalan dengan lambat dibanding berhadapan dengan komik. Berhadapan dengan komik berjam-jam berasa lima menit. Berhadapan dengan buku pelajaran. Lima menit serasa sudah satu jam. Tiap sore dan malamnya guru privat yang dipanggil oleh ayahnya datang terus tanpa henti. Percuma saja, walaupun pertemuan les privatnya sangat intens, tidak banyak yang ia dapat. Walaupun begitu, Thira masih bersyukur bisa mengikuti pelajaran sekolah. Guru-guru privatnya mau dengan sabar mengajari satu persatu materi.

Hari ujian datang, karena memang persiapan ujiannya hanya satu minggu. Tidak banyak soal-soal yang dapat Thira kerjakan dengan mudah. Dengan cara Thira menjawab soal, ia optimis akan naik kelas. Walaupun tidak dengan nilai yang bagus. Cukup lah jika hanya untuk naik kelas. Khusus untuk mata pelajaran sejarah, tidak ada kendala berarti dalam mengerjakannya. Ia selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Hanya itu yang dapat ia banggakan. Hanya pelajaran Sejarahlah yang dapat masuk ke dalam pikirannya. Thira senang mendengarkan cerita sejarah. Berbeda dengan teman-temannya.

Ujian telah usai. Thira menagih janji kepada Ayahnya. “Ayah, ujian kan sudah selesai. Sekarang aku minta kunci perpustakaan. Aku sudah muak dengan pelajaran sekolah.”

“Nanti Ayah kasih kuncinya, tapi sebelumnya ikut Ayah dulu.” Ayah Thira memasukkan kunci perpustakaannya ke dalam saku celananya.

“Kemana, Yah? Ayah mau belikan aku komik baru?” Thira menduga. Mimik wajahnya berubah dari kecut menjadi ceria.

“Pokoknya ikut Ayah saja. Tidak usah banyak tanya. Ambilkan kunci mobil Ayah di meja.” Thira semangat sekali hari itu. Pasti ayahnya akan membelikan komik baru sebagai hadiah karena telah bersusah payah untuk mempersiapkan ujian.

Mobil melaju kencang. Menembus macetnya jalanan kota. Bukannya berbelok ke toko buku seperti yang dikira Thira sebelumnya. Mobil itu melesat terus maju melewati toko buku terbesar di kota.

“Yah... mau kemana kita? Katanya mau beli komik baru? Harusnya kita belok kiri ke toko buku” Thira menunjuk jalan masuk ke arah toko buku.

“Tidak usah banyak tanya. Nanti ayah tunjukkan yang lebih hebat lagi dari sebuah toko buku” Ayah Thira menancap gas mobil ketika lampu hijau menyala di perempatan toko buku.

Sepuluh menit kemudian mobil mulai melambat. Mobil berhenti di tempat tukang kayu. Seminggu yang lalu Ayah Thira memesan sebuah lemari kayu baru untuk ditaruh di perpustakaan Thira.

“Lihat, Ayah memesan lemari baru untuk buku-buku mu. Ayah lihat lemari yang ada di perpustakaan sudah penuh. Ayah membelikan lemari kayu baru untuk mengisi buku-buku mu nanti. Ingat perkataan ayah. BUKU-BUKUMU, bukan buku-buku orang lain. Ayah ingin kamu menulis buku-buku mu sendiri, tidak terbatas pada komik saja. Ayah ingin kamu tidak hanya menjadi penikmat saja, tapi juga sebagai penulis”

“Ayah, aku kan tidak bisa menggambar untuk membuat komik. Aku tidak bisa menulis untuk membuat karangan cerita. Bagaimana bisa aku menulis bukuku sendiri?”

“Ayah mengerti. Kamu pasti bisa, dan kamu akan bangga atas karya kamu sendiri” Ayah Thira meyakinkan.

“Dengan kamu suka dengan apa yang kamu baca, itu sudah menjadi jalan kamu untuk menjadi penulis. Ayah tidak peduli dengan nilai kamu di sekolah. Ayah tahu nilai di sekolah tidak menjadikan mu orang yang hebat. Tapi dengan menulis buku mu sendiri, kamu bisa menjadi orang yang hebat. Lihat saja betapa berpengaruhnya penulis komik yang kamu baca?”

Sore itu lemari diantar dengan mobil yang disediakan oleh tukang kayu. Lemari itu tepat ditaruh di depan pintu masuk perpustakaan. Thira hanya melihat-lihat lemari kayu. Terukir besar di bagian atas lemari “Tulisan Thira”. Sejak saat itu, Thira lebih sering melihat lemari kosong dan merenungi perkataan ayahnya dari pada membaca komik yang ada ditangannya.

Saran dari guru BK kepada Ayah Thira sukses membuat kehidupan Thira berubah. Yang pada awalnya ia hanya menikmati saja, kini ia menyeduh sendiri cerita demi cerita yang mengantarkan ia menjadi penulis terkemuka lima tahun kemudian.

Minggu, 31 Januari 2021

ROMUSHA


Oleh : Rohimul Hadi

Nippon bukan saudara jauh
Nippon bukan penerang bangsa
Nippon adalah penipu

“Pengumuman !!! Pengumuman !!! Pengumuman !!!” Pak RT berteriak-teriak dari depan halaman rumahnya. Ada kabar bahagia yang sampai di rumah Pak RT. Kabar baik lainnya setelah nippon itu datang.

Kabar baik itu berupa dibukanya lowongan pekerjaan yang sangat besar. Setelah membebaskan dari kekejaman londo, orang-orang bermata sipit itu mendapat hati warga. “Saudara lama” mereka menyebutnya. Maka, berbondong-bondonglah warga mendaftarkan diri tanpa mempedulikan kaki-kaki tanpa alas itu. Tanpa terkecuali bapaknya Resti dan tetangganya.

“Pak Rt, beneran ini Saudara lama ngasih lowongan pekerjaan? Upahnya juga dikasih di awal?” bapaknya Resti bersemangat membayangkan ketika mendapat pekerjaan. Ia dapat menanggalkan baju lusuhnya yang sudah tidak putih lagi warnanya.

Bapaknya Resti dan tetangganya resmi mendaftar pekerjaan. Pak RT menjelaskan dibukanya lowongan pekerjaan besar-besaran bertujuan untuk mendukung militer Jepang, mulai dari pembangunan bandara untuk mobilitas pasukan, pembangunan jalur kereta api untuk urusan logistik, pekerjaan di pabrik untuk membuat peluru dan senjata-senjata dan juga pelabuhan untuk memperkuat kekuatan laut. Kekuatan militer sangat dibutuhkan untuk menghadapi perang pasifik. Kemenangan dari perang pasifik merupakan kemenangan sesungguhnya. Warga di desa kecil tempat Resti mungil hidup, bahkan seluruh hindia-belanda akan makmur di tangan orang bermata sipit.

Setelah pendaftaran, pada hari berikutnya bapaknya Resti pamit dari keluarganya meninggalkan Resti yang masih belia dan istrinya. Tidak banyak yang dapat dibawa untuk bekal. Hanya pakaian ganti yang dibungkus kain dan beberapa jumput beras. Karena kekejaman Londo,  hidup warga desa menjadi sengsara.

Tanpa alas kaki bapaknya Resti dan tetangganya pamit meninggalkan keluarganya masing-masing. Seorang wanita muda dan anak perempuan mengecup tangan kasar lelaki paruh baya. Pak RT dan perwakilan nippon siap pergi. Dari rumah Pak RT sudah ada angkutan yang siap membawa orang-orang yang akan bekerja.  Isak tangis dari keluarga tak terbendung. Besar harapan ketika mereka kembali dari pekerjaan yang dijanjikan. Bapaknya Resti dan warga sudah masuk ke dalam bis. Sekitar tiga puluh orang berdesak dalam bis.

 Seperti yang dijanjikan, bapaknya Resti sampai di tempat proyek. Ada puluhan hingga ratusan orang sudah berkumpul disana. Mereka dibariskan di tanah lapang nan gersang. Di hadapan mereka sudah ada alat-alat untuk melaksanakan pekerjaanya masing-masing. Cangkul untuk menggali tanah dan palu besar untuk memecah batu.

Hari pertama berjalan dengan lancar, tidak ada kendala yang berarti. Mencangkul meratakan tanah dan memecahkan bebatuan untuk bantalan rel dan yang lainnya menggotong lempengan baja untuk rel kereta. Semua berjalan dengan tertib dengan diawasi oleh nippon. Panas dan keringat tidak menghalangi untuk bekerja, mereka sudah biasa dengan kondisi tersebut. Tanpa alas kaki dan beberapa tidak mengenakan baju untuk melindungi dari terik matahari.

Nasib malang menimpa seluruh pekerja massal ketika sampai pada jam istirahat. Bapaknya Resti paling keras suaranya memprotes jatah makan siang. Yang lain tidak ada yang berani memprotes setelah melihat bapaknya Resti ditimpuk pakai tongkat oleh pengawas proyek pembuatan jalur kereta. Bagaimana tidak mau protes, setelah sekian keras bekerja di bawah terik matahari. Mereka, bapaknya Resti hanya mendapat sejumput nasi dan satu teguk air. Tidak kurang dan tidak lebih. Bapaknya Resti melakukan pembelaan meminta haknya untuk makan. Bukan makanan yang ia dapat, malah luka lebam di pipi dan di kaki akibat sabetan tongkat. Sungguh mengenaskan keadaan kala itu. orang-orang mulai tidak kuat dalam bekerja. Siapa saja yang berhenti bekerja walau sejenak, tongkat ­yang dibawa nippon sudah siap melayang dan memberi bekas di bagian tubuh mana saja.

Bagi yang orang-orang yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan berat, mereka sangat rentan. Beberapa pingsan karena tidak kuat melakukan pekerjaannya, luka batin juga mengenai mental mereka. Teriakan-teriakan di telinga, bentakan-bentakan tak berjiwa. Sungguh malang nasib mereka, berniat menjemput kebahagiaan yang didapat malah kebalikan.  Janji manis hanyalah janji palsu seperti halnya londo. Orang asing tidak bisa dipercaya. Orang asing adalah penipu.

***

Resti yang masih belia selalu menanyakan kabar bapaknya, kemana ia pergi dan kapan ia kembali. Resti mungil merindukan bapaknya. Seorang yang selalu ceria menghiburnya dengan tingkah konyol. Membayangkan gelak tawa Resti mungil membuat ibunya juga merindu.

“Bu, Bapak kapan pulang? Resti rindu bapak” tanya perempuan menggemaskan itu.

“Sabar ya, Nak! Bapak pasti pulang segera, Resti ingin oleh-oleh apa pas Bapak pulang nanti?” jawab ibunya menenangkan, padahal tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi pada suaminya. Tidak tahu kapan akan pulang.

“Resti gak pengen oleh-oleh. Resti pengen bapak. Resti pengen peluk bapak” jawab Resti menggemaskan. Ibunya memeluk Resti sambil mengelus kepalanya.

Nippon bukanlah orang baik. Ibunya Resti tahu kelakuan bejat mereka. Beberapa waktu lalu mereka datang ke desa. Menjarah semua persediaan makanan tiap rumah. Tanpa salam tanpa sapa mereka langsung merangsek ke dalam rumah Resti. Ibunya mencegah nippon masuk, tapi apa daya, ibunya Resti hanya wanita lemah. Terbilang tiga orang masuk ke dalam rumah, sisanya masuk ke rumah lainnya bersamaan. Satu orang menjaga Resti dan Ibunya, dua lainnya menggeledah isi rumah. Mereka mengambil sekarung beras sisa hasil panen sebelum bapaknya Resti pergi bekerja untuk nippon. Sekarung terakhir untuk makan beberapa bulan ke depan. Ibunya Resti merengek dan mencoba merangsek dari penjagaan nippon, tapi percuma saja, ia hanya mendapatkan lebam di lengan terhantam tongkat nippon yang menjaganya.  Resti menangis kencang melihat kerusuhan di dalam rumah. Ibunya mendekapnya, melindungi sepenuh raga mencegah ia disakiti oleh nippon.

Pak RT pun merasa tertipu atas janji orang-orang bermata sipit. Sapi yang ia punya di halaman belakang rumah juga raib dibawa. Semuanya habis dibawa oleh mereka. Warga desa sudah tidak punya lagi persediaan makanan. Mereka terancam kelaparan.

****

Hari-hari berlalu kemudian berganti minggu lalu bulan. Tubuh para pekerja sudah mengering tinggal tulang dan kulit. Tulang-tulang rusuk mereka sangat jelas terlihat, tidak ada otot bisep ataupun trisep. Jumlah mereka pun berkurang dari hari pertama datang. Berkurang hampir satu pertiga dari total pekerja. Sungguh malang nasib mereka.

Bapaknya Resti juga bernasib sama. Ia tidak kekar lagi seperti sedia kala. Tetangganya juga sama. Tapi bapaknya Resti memiliki banyak luka lebam di tubuhnya. Ia selalu saja protes dan sangat berani melawan penjaga proyek pembuatan jalur kereta. Tidak ada obat-obatan, yang luka tetap bekerja tidak ada kompensasi. Yang malas-malasan siap mendapat bentakan di telinga dan pukulan dengan tongkat.

Pada akhirnya tubuh kekar bapaknya Resti tumbang. Ia pingsan sudah tidak kuat menahan panas, lapar dan haus ditambah luka-luka yang ia terima. Tetangganya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak berani membantu. Ia tergeletak lemas, ditendang-tendang oleh ­nippon lalu menggeretnya ke pinggir tempat proyek. Digeletakkan begitu saja. Tetangganya mencuri waktu kelalaian pengawas proyek, lalu menepuk-nepuk badan bapaknya Resti. Percuma saja, bapaknya Resti tidak terselamatkan lagi. Ia resmi telah bebas dari kekejaman nippon. Tetangganya menangis tanpa air mata. Tidak rela ditinggalkan. Tapi apa daya, ia kembali ke pekerjaannya sebelum pengawas tahu dan memukulnya.

Sebulan setelah kepergian bapaknya Resti. Akhirnya proyek pembuatan jalur kereta selesai. Nippon memberi kabar baik jika mereka akan diantar pulang ke kampung halaman masing-masing. Mereka merespon lega, walau tidak mendapatkan upah. Tidak lama lagi masing-masing dari mereka dapat bertemu keluarga yang ditinggal.

Bis-bis sudah disiapkan, mereka semua dikumpulkan. Sore itu menjadi hari yang paling ditunggu. Berdesak-desakan kembali dengan hati yang lega. Bebas dari pekerjaan yang tak manusiawi.

  Bis berwarna hijau yang ditumpangi warga desa tempat Resti tinggal pun sampai. Orang-orang mengintip dari dalam rumah masing-masing. Sangat jarang ada kendaraan lewat di sana. Awalnya mereka tidak berani keluar dari rumah, bahkan lari bersembunyi ke dalam rumah. Nippon telah melukai hati warga desa, bahkan lebih dari itu. Tapi setelah melihat yang dibawa oleh bis adalah warga desa. Ketika penumpangnya turun. Orang-orang mulai keluar dan mendatangi bis.

“Ibu...! Ibu...! lihat...! Hore bapak pulang” Resti mungil keluar bersama ibunya.

Mereka berdua menuju ke tempat bis berhenti. Kebanyakan dari warga menangis setelah melihat kondisi fisik lelaki yang telah meninggalkannya beberapa bulan yang lalu. Fisik yang kurus kering sangat memprihatinkan. Keadaan desa pun sama, pasokan makanan sangat kurang. Tapi warga masih beruntung tidak sampai kurus kering, mereka masih bisa makan dari tumbuhan-tumbuhan disekitar rumah. Punya stok beras pun harus benar-benar di sembunyikan.

“Bapaknya Resti sudah tiada” tetangganya bilang ke ibunya Resti.

“Tidak mugkin, dia lelaki kuat. Dia masih ada, jangan bilang jika dia sudah tiada” Ibu Resti berkaca-kaca.

“Sabar. Dia memang kuat, dia sangat berani menentang orang bermata sipit. Tapi keadaan tidak berpihak ke dia. Resti yang sabar ya!” ucap tetangganya itu sambil mengelus kepala Resti.

Melihat ibunya menangis, perempuan mungil itu ikut menangis. Ibunya mendekap. Mereka menangis dalam pelukan. Sungguh malang nasib perempuan kecil bernama Resti. Lahir di era yang tidak tepat. Era yang tidak ramah untuk anak kecil. Tidak ada mainan, tidak ada makanan enak dan tidak baju bagus. Resti yang malang, harus kehilangan seorang bapak di zaman yang serba tidak enak.