Oleh
: Rohimul Hadi AR
“Lihat!!! pasangan pengantin itu sangat menawan.
Kebaya yang dikenakannya sangat cocok sekali dengan Ajeng. Aku kira, Semua
orang berpikiran sama denganku. Iya kan?” ujar Fani.
“Aku setuju dengan apa yang kamu katakan. Sampai aku
iri dengan Ajeng. Suaminya ganteng dan postur tubuhnya idaman banget pokoknya.
Tidak rugi dia memilihnya sebagai pasangan hidup” Asih sependapat dengan Fani.
Gamelan berdendang mengiringi ritual yang sangat
sakral. Prosesi pernikahan menyatukan dua insan menjadi satu, menyatukan dua
keluarga menjadi satu dan menjadikan satu kesatuan baru. Suara merdu sinden
turut membuat prosesi menjadi khusuk.
Dua pasang pengantin duduk di pelaminan dengan pakaian adat jawa. Mereka
menebar senyum indah yang membuat orang terpesona. Pasangan yang serasi.
***
“Kamu gak pake sayur lagi makannya? Pokoknya kamu
harus makan sayur walaupun sedikit. Kan kasian nanti perutmu. Aku gak mau lagi
kamu sakit. Aku gak mau lagi kamu tidak masuk kerja. Nanti aku sedih” pinta
Ajeng sambil mengambil sayur dari piringnya.
“Uluh-Uluh perhatiannya orang paling resek sedunia
ini. Aku gak suka sayur sayang. Sedikit
saja yah” Gilang menawar.
“Tidak bisa !!! pokok nya kamu harus habiskan” Ajeng
menambahkan sayur ke piring Gilang hingga sayur di piringnya sendiri habis.
“Loh Sayang, kamu juga harus makan sayur juga. Kalo
aku saja yang makan sayur, kamu nanti sakit juga loh.”
“Sudah, pokoknya kamu habiskan makanan di piringmu.
Aku bisa pesan sayur lagi.”
Perdebatan kali ini dimenangkan oleh Ajeng. Gilang
dengan terpaksa menghabiskan makanan di piringnya walaupun sayur yang diberikan
Ajeng hanya sedikit yang tersentuh. Mereka berdua damai dalam meja kantin.
Makan siang telah usai. Waktunya kembali ke pekerjaan masing-masing.
Ajeng bekerja di bagian marketing sedangkan
Gilang menjadi kepala bagian Public Relation di salah satu perusahaan terknologi ternama.
Mereka memiliki tempat yang terpisah oleh sekat kaca. Ajeng sering curi-curi
pandang ke Gilang di balik sekat kaca. Pertemuan pertama mereka dimulai ketika
rapat para kepala bagian dua tahun lalu. Ajeng yang merupakan karyawan baru
kala itu, diharuskan melakukan presentase penjualan menggantikan kepala marketing
yang sedang cuti. Ajeng mempresentasikan dengan luwes dan sangat mudah
difahami. Hal itu membuat Gilang tertarik dengan caranya menyuguhkan materi.
Setelah presentasi hari itu Gilang langsung menghampiri Ajeng dan mengobrol
bersama.
Dengan berjalannya waktu, hubungan mereka berdua
semakin dekat.
“Fan, tanya dong. Gimana caranya mengatasi orang yang
gak suka makan sayur. Kamu tahu sendirikan seberapa pentingnya makan sayur.
Bagaimana bisa seseorang hidup tanpa
sayuran” chat Ajeng kepada Fani sepulang kerja.
“Gimana yah. Agak susah sih kalo membujuk orang untuk
menyukai apa yang tidak disukai” balas Fani.
“Ya gimana dong. Aku gak mau kan dia sakit lagi. Emang
susah, buat Gilang makan sayur. Bandel pokoknya kalo suruh makan sayur. Untung
waktu itu dokter Arya kenalan bapak bisa dihubungi mendadak. Jadi ketolong tuh
si manja yang gak doyan sayur”
Waktu itu Gilang sakit perut yang luar biasa. Tidak
bukan karena kebiasaan Gilang yang tidak suka dengan sayur. Akibatnya proses
pencernaan Gilang tidak bisa berjalan dengan baik. Gilang sudah lima hari tidak
bisa buang air besar. Bayangkan sudah berapa banyak makanan yang tersumbat di
perutnya.
Arya yang memiliki salah satu klinik di dekat rumah
Ajeng sedang libur, jadi bisa dihubungi dengan telepon. Arya memiliki hubungan
baik dengan keluarga Ajeng. Jika ada yang perlu dikonsultasikan tentang
kesehatan, tidak perlu datang ke tempat prakteknya. Beruntung keadaan Gilang
bisa diselamatkan berkat resep obat yang diberikan oleh Arya.
“Aku punya ide, Ajeng. Gimana kalo suruh dia makan
buah saja. Buah juga punya manfaat yang mirip-mirip dengan sayur. Atau yang
lebih kekinian kamu kasih minum jus. Mungkin dia lebih suka”
“Oke, besok aku coba”
Hari semakin larut. Mentari turun dari langit, bulan
memanjat naik mengantikan mentari. Cerita hari ini baru dimulai.
Keesokan harinya pada jam makan siang. Waktu yang
sama, dan tempat duduk yang sama. Seolah-olah meja itu sudah menjadi miliknya.
Terletak sebelah jendela berhadapan dengan pemandangan kota yang super padat.
Kantin itu terletak di lantai tiga.
“Sayang, Aku bawain jus mangga. Kamu minum, Yah!. Aku khawatir sama kamu. Coba pikir, kapan
terakhir kali kamu makan sayur?” Ajeng menyodorkan Jus yang baru diambil dari
kulkas yang ada di kantor. Ajeng membuatnya sendiri sebelum berangkat.
“Sebenernya aku tidak suka buah mangga. Aku sudah
bilang kalo lidahku sangat sensitif. Aku gak bisa makan yang rasanya asam”
“Mana ada mangga rasanya asam, kalo mangga muda baru
rasanya asam. Jus mangga manis kok, udah ada tambahan susunya juga. Yakin dah
kamu pasti suka” tutur Ajeng sambil menepuk bahu Gilang.
“Oke, nanti aku minum jus mangganya. Jadi kamu tidak
harus menambahkan sayur di piringku, yah” Gilang mengantisipasi kebiasaan Ajeng
menaruh sayur di piring makan siangnya walaupun tidak selalu dimakan oleh
Gilang.
“Omong-omong libur panjang besok, Sayang ada rencana
pulang tidak?” tanya Gilang.
“Ya, pulang dong. Ketemu keluarga di rumah. Kenapa
kamu tanya begitu ? Kan kamu sudah tahu kalo ada waktu luang aku pasti pulang.
Bapak sama Ibu pasti rindu kalau anak kesayangannya tidak pulang”
“Aku mau ikut ke rumah mu, Sayang. Mau ketemu langsung
sama orang tua mu. Masak gak boleh kalo mau ketemu sama calon mertua” ucap
Gilang.
“Boleh sih, tapi gimana yah. Bapak ku itu galak banget
loh” Ucap Ajeng beralasan bahwa Ajeng masih belum siap.
“Kalo masalah galak-menggalak aku berani. Jangankan
Ayah mu yang galak, Bos kita orang yang paling galak sekantor pun aku tidak
takut. Jadi, tidak usah khawatir. Aku bisa mengatasinya dan siap menerima
sikapnya” Gilang menepukkan tangan kanan di dadanya. Sangat optimis bisa
menghadapi kegalakan Bapaknya Ajeng.
Libur panjang tiba. Dua tanggal merah di hari Selasa
dan Rabu menjadikan hari Senin hari kejepit. Bos yang memiliki watak keras dan
galak berbaik hati pada karyawannya untuk meliburkan hari Senin. “Hari
terjepit” Si Bos bilang.
Perjalanan enam jam dari pusat kota menuju rumah Ajeng
bukanlah hal berat. Apalagi sudah ada jalan bebas hambatan yang sudah
diresmikan tahun lalu. Akses antar kota semakin mudah. Biasanya Ajeng pulang
pergi menggunakan kereta. Karena liburan kali ini bersama Gilang, Ajeng bisa
lebih santai lagi diperjalanan dengan mobil milik Gilang.
Gilang sudah tidak sabar lagi. Di usianya yang sudah
tahu makna hubungan antara laki-laki dan perempuan bukanlah untuk main-main.
Keputusan untuk bertemu dengan Bapaknya Ajeng adalah keputusan yang tepat
menurutnya. Jika menunggu waktu libur panjang membutuhkan beberapa bulan lagi.
Hubungan yang ia jalani bersama Ajeng sudah menginjak setahun lebih. Waktu yang
sudah cukup untuk memperkenalkan diri ke orang tua Ajeng. Keputusan sudah bulat
untuk bersama Ajeng untuk waktu yang lama.
Mobil merah itu berhenti di halaman rumah Ajeng. Ajeng
sudah memperkenalkan Gilang ke Ibunya, tidak dengan Bapaknya. Ibu sudah bercerita
banyak tentang hubungan Ajeng dan Gilang ke Bapak. Ajeng tidak terlalu dekat
dengan Bapak.
“Pak, Perkenalkan nama saya Gilang Sanjaya, Pacarnya Ajeng”
dengan mantap Gilang memperkenalkan diri. Bapak dan Ibunya turut duduk di ruang
tamu yang berdekorasi kejawen. Ajeng duduk di sebelah Ibunya setelah
memberikan minuman yang dibuatnya pada Gilang dan orang tuanya.
“Oke, coba bapak pengin tahu nama lengkap kamu siapa?
Tanggal lahir kamu berapa? dan kamu anak ke berapa?” tanya Bapaknya Ajeng. Tiga
pertanyaan yang menentukan kelanjutan hubungan antara keduanya. Ajeng
sebenarnya sudah tahu akan jawaban yang akan diutarakan oleh Bapaknya. Ibunya
sudah bercerita dari telpon beberapa waktu lalu.
“Nama saya Gilang Sanjaya, Pak. Tanggal lahir saya 15
April 1995, dan saya anak pertama dari tiga bersaudara” Gilang menjawab yakin.
Pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab. Ajeng takut tidak kuat melihat
reaksi Gilang mendengar pernyataan Bapak. Ia meninggalkan ruang tamu. Ibunya
menoleh cepat kepada Ajeng, lalu mengikutinya. Ibu sudah tahu apa yang akan
dirasakan oleh Ajeng. Inilah yang membuat Ajeng belum siap untuk mengenalkan
Gilang ke Bapak. Ajeng sudah tahu.
“Sudah berapa lama kamu pacaran dengan anak saya,
Gilang?” Bapaknya Ajeng bertanya hanya untuk memastikan. Seluk beluk tentang
Gilang sudah diketahuinya berdasarkan cerita Istrinya.
“Sudah setahun lebih, tepatnya empat belas bulan lebih
lima hari” Hari dimana Gilang memberanikan diri mengungkapkan perasaannya pada
Ajeng di sebuah kafe.
“Gilang, kamu sama anak saya mau tetap berpacaran atau
mau sampai menikah?”
“Sudah tentu tujuan saya ke rumah bapak untuk
bersilaturahmi dan saling mengenal. Tidak lain-tidak bukan pasti tujuan saya
kedepannya bisa ke jenjang berikutnya” jawab Gilang yakin.
“Gilang, coba kamu perhatikan isi ruangan ini. kamu
tahu kan kenapa ruangan ini seperti ini?” tanya Bapaknya Ajeng. Gilang yang
belum sempat memperhatikan seisi ruangan karena sewaktu sampai di rumah Ajeng
langsung dipersilahkan masuk dan langsung bertemu dengan bapaknya Ajeng di
ruang tamu. Karena sifat keberaniannya ia hanya fokus pada seorang lelaki tua
yang berhadapan dengannya. Sifat keberaniannya terhadap bos super galak di
kantor terbawa ke rumah calon mertuanya.
Gilang memperhatikan sekitar dengan sangat seksama.
Tiap sudut tak terlewat dari matanya. Ia paling lihai dalam memainkan
pandangan.
Foto lelaki dengan blankon dan keris tersampir
terpampang besar sebagai background yang sangat mencolok. Di sebelahnya
ada foto pernikahan dan foto-foto orang-orang yang tidak dikenalnya. Ajeng
sudah memperkenalkan semua anggota keluarganya ke Gilang. Tapi Gilang tidak
tahu siapa orang yang ada di foto-foto itu.
Kursi yang digunakan di ruang tamu terbuat dari kayu
jati tua. Orang yang ahli dalam bidang perkayuan pasti tahu umur dari kursi itu
sudah lebih dari seratus tahun, begitu juga dengan meja dan perabotan lainnya.
Lampu-lampu
berwarna kuning juga turut menjadi penghias dan sebagai penerang di
ruangan itu. Ruangan atas jawaban hubungan Gilang dan Ajeng selanjutnya. Kini
keberaniannya mulai terkikis. Tak diperhatikan sebelumnya. Ia baru sadar
setelah lima belas menit di dalam rumah itu. Bapaknya Ajeng bukanlah orang
biasa. Foto lelaki yang terpampang besar ruangan itu adalah foto kakeknya
Ajeng.
“Gilang, Bapak mohon maaf. Keluarga saya sangat
menjunjung tinggi adat jawa. Leluhur saya adalah orang jawa. Bisa dilihat
cerminan adat jawa saya dalam ruangan ini. Begitu juga dengan perjodohan. Ini
juga demi kebaikan anak kesayangan saya, Ajeng”
“Maksudnya bagaimana ya, Pak? Aku belum faham apa yang
Bapak maksud” ujar Gilang pada seorang bapak-bapak di hadapannya. Ruangan
semakin mencekam dengan suasana lampu kuning yang menerangi.
“Sebelumnya, Bapak mohon Gilang mau menerima
pernyataan yang akan Bapak utarakan”
Gilang mengangguk meng-iyakan. Kedua tangannya
memegang lututnya tidak sabar mau mendengar apa yang akan dikatakan Bapaknya
Ajeng.
“Aku tidak setuju hubungan mu dengan Ajeng” ujar
seorang bapak-bapak di hadapannya. Singkat, padat, jelas dan menusuk. Gilang
diam mematung. Ibunya menenangkan Ajeng di kamar. Tahu jika Ajeng akan sangat
terpuruk. Rencana terburuk mengiyakan Gilang datang ke rumah. Lebih baik hal
ini tidak terjadi jika itu akan membuatnya sakit hati.
Inilah ketidaksiapan Ajeng mengijinkan Gilang untuk
menghadap orang tuanya. Dari cerita Ibunya beberapa waktu lalu. Gilang bukan
merupakan jodoh yang paling baik untuk Ajeng.
“Pertama, kamu dan anak saya hanya berbeda satu tahun.
Itu merupakan hal yang membuat hidupmu akan tidak mesra di waktu yang akan
datang. Kamu sudah mengerti. Tingkat kedewasaan perempuan lebih cepat dari pada
seorang lelaki. Pada waktu yang akan datang, dalam hubungan rumah tangga mu.
Kamu akan disetir oleh Ajeng. Kamu tahu, itu akan membuat hidup seorang lelaki
akan hilang kewibawaannya” ucap seorang bapak-bapak bertubuh gempal dengan
kumis tebal. Gilang terdiam mendengarkan dengan seksama. Kedua tangannya masih
memegang lututnya.
“Kedua, dari hitungan tanggal lahir. Hidup mu dengan
Ajeng akan tidak tentram, banyak pertengkaran, dan tidak harmonis. Tentunya
pertengkaran itu akan membawa pada perceraian bahkan perselingkuhan”
Gilang masih tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.
Tidak mungkin hanya karena tanggal
lahir, nasib seseorang bisa diketahui. Hanya bualan belaka.
“Saya tidak percaya hal seperti itu Pak. Saya pasti
bisa mengarungi bahtera rumah tangga bersama Ajeng. Saya punya lebih dari cukup
kekayaan untuk menghidupi”
Sebagai kepala bagian Public Relation pada
perusahaan teknologi ternama sudah lebih dari cukup. Rumah dan mobil sudah
dimilikinya. Tidak hanya ketampanannya. Bagi Ajeng ini adalah keputusan yang
sangat berat. Ia harus rela meninggalkan seorang lelaki mapan yang
mencintainya. Ajeng masih belum siap.
“Gilang, kunci kebahagiaan rumah tangga bukan hanya
karena harta kekayaan. Lebih utama lagi kepribadian masing-masing. Karakter
seorang perempuan dan seorang laki-laki harus cocok. Dua hal yang perlu kamu
perhatikan dari namamu. Kamu tidak memiliki komitmen dan kehidupanmu boros”
Benar apa yang dikatakan seorang bapak-bapak
dihadapannya. Ketika Gilang menemui Ajeng ketika selesai presentasi rapat bersama
pimpinan kala itu. itu dilakukan oleh Gilang karena ia memperoleh protes keras
dari para kepala bagian yang lain dan terutama bos yang super galak
mendengarkan. Pada rapat sebelumnya Gilang menawarkan idenya yang dianggap
cemerlang, akan tetapi pada rapat bulan itu. Gilang menawarkan hal yang
berbeda. Hal ini mempengaruhi hubungan perusahaan dengan distributor perusahaan
teknologi ternama tempat ia bekerja.
Walau dikatakan Gilang dikatakan sukses di usia muda.
Itu berkat kegigihan sifatnya dan mau terus berjuang, ia tidak mampu
membentengi nafsunya. Kehidupannya yang terlalu glamor, membeli pakaian, jam
tangan dan modifikasi mobil membuat hartanya tidak terorganisir dengan baik.
Gilang orang yang sangat boros.
“Ketiga, dalam adat saya. Sungguh pamali jika anak
pertama menikah dengan anak ketiga. Kamu sudah tau sendiri jika Ajeng adalah
anak saya nomor tiga. Pernikahan anak pertama dan anak ketiga akan mendatangkan
pertengkaran. Satu masalah selesai, satu masalah lain datang. Kamu juga akan
kehilangan banyak hartamu akibat pernikahan jenis ini, selain karena hidup mu
yang boros. Terakhir, salah satu dari kalian akan meninggal terlebih dahulu
jika hubungan ini akan dilanjutkan ke jenjang pernikahan” Ucap lagi dari seorang bapak-bapak dihadapan
Gilang.
Kali ini gilang setuju dengan apa yang dikatakannya.
Hanya dengan mengartikan namanya Gilang merasa benar apa yang dikatakan
Bapaknya Ajeng. Dia benar jika Gilang adalah orang yang kurang dalam
berkomitmen dan juga yang sangat menyentuh dirinya ketika Bapaknya Ajeng
berkata tentang sikap borosnya. Orang yang dihadapannya memang orang hebat.
“Kamu sudah tahu kan mengapa Bapak tidak menyetujui
hubunganmu dengan anak saya. Bukan hanya tentang kebaikan anak saya, ini juga
tentang kebaikanmu” Lelaki dihadapan Gilang berkata meredakan.
Setelah beberapa lama mengobrol dengan Bapaknya Ajeng.
Gilang meninggalkan rumah Ajeng tanpa pamit dengan Ajeng. Ajeng tidak mau
keluar dari kamarnya. Bapak dan Ibunya Ajeng melepas kepergian Gilang. Mobil
merah nya keluar dari halaman rumah dan melaju menuju pintu jalan bebas
hambatan terdekat. Perjalanan pulangnya kurang dari enam jam seperti perjalanan
menuju rumah Ajeng. Mobil hasil modifikasinya membuat jalanan bebas hambatan
seperti lintasan balap. Gas diinjak penuh, meliuk-liuk menyalip kendaran yang
di depannya. Gilang sedang patah hati.
Ajeng murung dikamarnya setelah kepergian Gilang.
Hingga tiba hari kamis untuk kembali bekerja, ia tetap merenung dikamarnya.
Masih tidak rela harus meninggalkan Gilang. Rencana paling buruk mengiyakan
Gilang ikut ke rumah.
“Ajeng, ayo dong dimakan makanannya. Kamu dari
kemarin-kemarin tidak banyak makan. Tidak baik untuk kesehatanmu” Ibunya
menyodorkan makanan kesokaannya. Ajeng masih tetap diam meringkuk dalam
selimut. Kebiasaan waktu ia pulang ke rumah, adalah wajib untuk dibuatkan
makanan kesukaannya. Makanan wajib ketika pulang, tapi kali ini tidak mempan.
“Kamu mau makan apa, Nak?” tanya ibunya, ”supaya kamu
mau makan” Ibunya meletakkan makanan kesukaan Ajeng di meja kamarnya.
Ajeng bangkit dan duduk di bawah jendela besar sebelah
dipannya. Di bawah gorden putih ia menatap keluar. Selimut tebalnya masih
melingkupi tubuhnya. Ibunya naik ke dipan, merangkul anak perempuan
kesayangannya.
Ibunya menyentuh
dahi Ajeng. Terasa lebih panas dari biasanya. Kemudian tangan lembutnya
menyentuh pipi Ajeng. Ajeng sedang sakit.
“Pak...!!! Pak...!!!”
teriak Ibu dari kamar. Bapak datang tidak lama setelah ibu berteriak memanggil.
“Pak Panggilkan
Arya. Badan Ajeng Panas. Cepet, Pak...!!!” suruh Ibu segera.
Jarak yang tidak
terlalu jauh antara klinik Arya dan rumah. Tidak sampai sepuluh menit Arya
sampai. Klinik dititipkan pada asistennya. Klinik tidak sedang ramai. Jadi
tidak masalah ditinggal sementara.
Arya berusia sekitar
tiga tahun lebih tua dari Gilang. Umurnya Menginjak hampir tiga puluh tahun.
Arya menjalankan klinik milik Bapaknya yang juga dokter juga. Bapak dari Arya
merupakan sabahat karib dengan Bapaknya Ajeng. Jadi tidak sungkan jika mereka
saling membantu. Bahkan tidak pernah mau menerima uang dari keluarga Ajeng
ketika berobat di kliniknya walaupun sudah dipaksa. Mereka adalah teman sedari
masih sekolah dasar.
“Ajeng kurang
nutrisi, Bu. Tapi kondisinya tidak perlu dikhawatirkan jika ia mau makan dan
minum vitamin setelah ini” ujar Arya.
“Dia harus makan, dan minum vitamin dan buah-buahan.
Setelah ini saya bawakan vitaminnya” Ibu dan Bapaknya duduk kursi yang ada di kamar itu. Arya
menenangkan.
Arya sudah mengetahui sebab mengapa Ajeng seperti itu.
Ibu sudah bercerita sebelumnya. Lebih tepatnya konsultasi mengenai kondisi
Ajeng yang tidak mau makan. Mau makan pun hanya sedikit, hanya beberapa suap.
Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Ajeng membaik.
Ajeng mendapat telepon dari Bos super galak di kantor. Isi dari pembicaraannya
mengenai karirnya di perusahaan. Bos super galak itu memberi peringatan jika ia
tidak kembali ke perusahaan dia akan dipecat. Gilang sudah memberi keterangan
kepada Bos jika Ajeng sedang tidak sehat. Alasan itu tidak bisa diterima oleh
Bos. Ajeng tidak memberitahukan sendiri kondisinya. Statusnya dia membolos dari
kantor. Membolos tiga hari berurut-urut sudah selayaknya mendapat peringatan
keras dari Bos. “Kembali sekarang, atau kamu saya pecat” Ujar Si Bos yang
paling galak.
Ajeng tidak mau mengulang kenangannya. Ia tidak mau
merusak hatinya. Hatinya terlalu rapuh untuk bertemu Gilang. Ia tidak mau
menangis di kantor.
Keputusan berat Ajeng telah ditentukan. Ia memilih
mengundurkan diri dari perusahaan daripada harus bekerja dengan bayang-bayang
perasaan dengan Gilang. Perasaan yang akan membuatnya sakit. Hubungan cinta
yang tidak direstui, tidak akan mungkin untuk dilanjutkan. Ajeng tidak mau
melawan orang tua, terutama Bapaknya.
Beberapa bulan setelah kepergian Gilang dari rumah.
“Ajeng, kamu sangat cocok dengan Arya. Pertama mungkin
kamu akan tidak suka. Pasti dalam waktu yang akan datang, kamu tidak bisa lepas
darinya” Ujar seorang lelaki yang ada di foto dinding ruang tamu. Sebenarnya, Ajeng sudah dijodohkan oleh Bapak
dengan Arya. Ajeng tidak mau menerima perjodohan yang diberikan. Ajeng tidak suka dengan Arya
karena pada mulanya Ajeng tidak suka dengan lelaki yang terlampau agak jauh
lebih tua. Ajeng suka lelaki yang berumur tidak jauh dengan dirinya. Dia pikir
akan lebih mudah dengan lelaki yang seperti itu.
“Manut saja sama Bapak. Kamu pasti bahagia. Ingat kamu
dengan Gilang tidak memiliki sifat yang sesuai. Kamu dan Gilang akan mendapat
banyak masalah di akhir hubungan kalian. Bapak tahu itu keputusan yang berat,
tapi Bapak juga tidak ingin kamu menderita nantinya. Dengan kamu hidup bersama
dengan Arya, Bapak jamin kamu akan hidup bahagia”
“Kamu mengertikan bagaimana adat keluarga kita. Bapak
sudah hitung, bibit, bebet, dan bobotnya. Tidak hanya itu, hitungan nama,
tanggal dan weton nya semua sudah baik. Bapak yakin kamu pasti bahagia”
Ajeng kali ini menurut dengan perkataan Bapaknya.
Menurut pengalaman Ajeng melihat perjodohan yang dilakukan Bapaknya. Ia yakin
akan perkataan Bapaknya. Keluarga Ajeng merupakan keluarga terpandang di
daerahnya. Foto yang terpampang lebar di ruang tamu rumahnya merupakan tokoh
paling disegani. Sikap dan sifat orang yang ada di foto itu menurun pada
anaknya. Oleh sebab itu, Bapak sering dimintai tolong untuk menghitung
apakah seorang pasangan akan berhasil atau tidak. Yang menerima perkataan Bapak
maka ia beruntung, yang tidak menerima perkataan Bapak maka akan terjadi
seperti apa yang dikatakan.
Hari yang dimaksud datang. Hari kegembiraan. Acara
sakral mempersatukan dua insan, dua keluarga. Kini Ajeng dan Arya resmi menjadi
satu kesatuan keluarga.
Gamelan berbedang dengan lantang. Sinden mengiringi
dengan lantunan tembang yang indah. Para tamu berdatangan. Bersiap melihat
sepasang pengantin jawa. Semua sudah tidak sabar. Ketika pasangan pengantin
keluar dari balik tirai semua mata tertuju pada pengantin. Ajeng menggandeng
tangan Arya dan berjalan perlahan mengikuti suara gamelan. Mereka duduk di
pelaminan. Bergandeng tangan mesra. Keluarga bahagia segera terbentuk.